Selasa, 18 Desember 2012

Mendukung Perjuangan Masyarakat Kuala Labai - Ketapang


FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR) KALBAR

Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalbar, Komite Nelayan Pantai Selatan (KNPS), Serikat Tani Kubu Raya (STKR), Serikat Tani Serumpun Damai (STSD) Kab. Sambas, Serikat Tani Petinggi Betingau (STPB), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Ikatan Mahasiswa Muhammadyah (IMM), Lembaga Gemawan, Walhi Kalbar, SAMPAN, Link-Ar Borneo, Borneo Humanity Project (BHP


Lawan Perampasan Tanah, Kerusakan Lingkungan, dan Hilangnya Lapangan Pekerjaan Untuk Rakyat !!!

“Mendukung Perjuangan Masyarakat Desa Kuala Labai  Kec. Simpang hulu,  Kab. Ketapang, Kalbar, Melawan PT. Asia Tani Persada (ATP) dan PT. Daya Tani Kal-Bar (DTK) yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat untuk hidup.”




Masyarakat Desa Kuala Labai, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang melakukan aksi pemblokiran jalan perusahaan sejak tanggal 14 Desember 2012 hingga sekarang. Dikarenakan perusahaan hanya memiliki satu jalur operasional dan tran sportasi, maka akibat aksi blokir oleh masyarakat, memaksa perusahaan harus menghentikan aktivitas operasional dan transportasi. Masyarakat menggunakan kekuatan hokum ada tuntuk melakukan aksi tersebut, yang dipimpin langsung oleh Temenggung Adat. Oleh karena hilangnya kebudayaan local akibat masuknya perusahaan ATP dan DTK, yang dahulu menjadi petani penggarap, dan menyandarkan hidup dari hutan. Sekarang sebagian besar tanah adat masyarakat telah di ambil alih untuk konsesi perusahaan HTI. Halter sebut menjadi dasar awal aksi yang dilakukan oleh masyarakat. Dasar masyarakat melakukan aksi tersebut adalah masyarakat menuntut kepada pihak perusahaan agar memberikan hak atas tanah masyarakat sebesar 5% dari luas konsesi perusahaan ( ATP memiliki lahan konsesi sebesar 8.000 Ha, dan DTK memiliki lahan konsesi sebesar 15.000 Ha lebih ). Total 5% yang menjadi tuntutan masyarakat sebesar 5% yaitu kurang lebih sebesar 1.156 Ha untuk dikelola secara utuh oleh masyarakat dan tanpa campur tangan perusahaan.
Dikarenakan masyarakat menganggap perusahaan telah melanggar beberapa aspek yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat;
1) Tanah : alih fungsi lahan masyaraka t/ tanah adat masyarakat menjadi HTI, dan memaksa masyarakat tidak lagi berdaulat atas tanahnya yang telah dikelola turun temurun, serta hancurnya tanah gambut, dengan kedalaman gambut hingga 13 meter.
2) Ekonomi : akibat tidak lagi memiliki alat produksi yaitu tanah, menjadikan masyarakat hidup dalam kemiskinan di atas lahan yang begitu subur, akibat sempitnya lapangan pekerjaan yang diberikan, banyak pemuda angkatan kerja harus mencari pekerjaan didaerah lain, harus menjadi TKI, hingga menjadi  pengangguran, adapun lapangan pekerjaan sangat  tidak  layak bagi masyarakat dan perusahaan ATP dan DTK  tidak memberikan apa  yang  menjadi  hak dasar masyarakat setempat tersebut,
3) Kebudayaan : adanya peralihan kebudayaan masyarakat, yang dahulu petani penggarap, sekarang memaksa petani yang tidak lagi memiliki tanah harus bekerja menjadi buruh di perusahaan, dan disertai dengan minimnya anak-anak yang harusnya mengenyam pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi  di karenakan kurang mampunya masyarakat membiayai pendidikan anaknya,dan inilah akar dari rendahnya kebudayaan/ pendidikan di kecamatan Labai
4) Lingkungan : hancurnya hutan dan sungai di kecamatan Labai akibat eksploitasi yang dilakukan perusahaan ATP dan DTK, menjadikan hancur juga kehidupan masyarakat, hutan tidak lagi bias menjadi penghidupan rakyat akibat hilangnya hutan menjadi area konsesi HTI, serta sungai tidak lagi menjadi sumber air bersih bagi masyarakat akibat tercemar oleh limbah perusahaan, dan air bersih menjadi salah satu masalah utama di daerah tersebut.
Begitu  besarnya gerakan menuntut hak atas tanah sebesar 5% dari jumlah konsesi, dan akibat dari pemblokiran jalan tersebut, pihak perusahaan Asia Tani Persada ( ATP ), meminta kepada pihak kepolisian daerah Kal-bar untuk segera melakukan negosisai, yang pada saat itu WAKAPOLDA Kal-bar menghubungi pihak kepolisian sector Labai untuk menyikapi aksi masyarakat, dan menugaskan POLPOS untuk bernegoisasi dengan masyarakat untuk menghentikan aksi blokir jalan tersebut. Namun negoisasi tidak mendapatkan hasil yang di inginkan perusahaan, ternyata masyarakat yang dipimpin olehTemenggung adat menolak untuk menghentikan aksi blokir jalan, hingga semua tuntutan dipenuhi. Selain menuntut diberikannya hak atas tanah sebesar 5% darijumlah area konsesi, masyarakat juga menuntut diberikannya hak air bersih yaitu 50 Drum air bersih yang bermuatan 1.000 Liter untuk masyarakat kecamatan Labai, akibat tidak lagi bias air sungai dijadikan cadangan air bersih akibat tercemar limbah perusahaan. Lalu yang ketiga masyarakat menuntut adanya pembangunan gedung dan fasilitas Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang layak, permasalahan rendahnya tingkat pendidikan dan hilangnya tanah masyarakat mengharuskan pihak pemerintah dan perusahaan harus bertanggungjawab atas permasalahan pendidikan di kecamatan Labai, serta lapangan pekerjaan yang luas dan layak sesuai dengan kemampuan dan keahlian masyarakat.
Masyarakat menuntut dari jumlah 5% tanah luas konsesi perusahaan, 2 Ha dibagikan keseluruh masyarakat untuk dikelola tiap kepala keluarga, dan daerah tersebut memiliki jumlah 385 KK, serta sisa tanah akan dijadikan lahan cadangan masyarakat atau tanah adat. Atas dasar permasalahan yang di alami masyaakat kecamatan Labai, Kabupaten Ketapang, dengan ini Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalbar, menuntut :
1.       Berikan tanah sebesar 5% dari jumlah area Konsesi perusahaan( ATP = 8.000 Ha, dan DTK = 15.000 Ha lebih), atau sekitar 1.156 Ha untuk masyarakat Desa Kuala Labai.
2.       Berikan Air bersih kepada masyarakat Kuala Labai, yaitu 50 Drum bermuatan 1.000 Liter/ hari
3.       Berikan bantuan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan yang layak, khususnya untuk Sekolah Menengah Pertama ( SMP )
4.       Berikan Lapangan pekerjaan yang luas dan layak, sesuai kemampuan dan keahlian masyarakat kecamatan Labai.  Preman Bayaran dalam pengamanan perusahaan yang menindas rakyat.
Bersama ini, kami juga mengajak kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Kalimantan Barat, Masyarakat diseluruh Indonesia dan rakyat disektor lainnya untuk bersama sama memberikan dukungan dan solidaritas atas perjuangan Masyarakat Desa Kuala Labai, kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang dan mendesak kepada pihak Perusahaan Asia Tani Persada (ATP), dan Daya Tani Kal-bar untuk merelisasikan dengan cepat tuntutan masyarakat.

Hidup Rakyat Indonesia!
Pontianak, 18 Desember 2012
Mengetahui,
Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalbar







                                                                                                                                                              

Senin, 17 Desember 2012

KAPITALISASI PENDIDIKAN NASIONAL "UU SISDIKNAS dan UU PT Sebuah Mala Petaka"


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiz87SfrLtgRMK5Enw39mlgJU9AOwCdHKXWh8Y7A4QKjI74cM_wD5X-rxPYEYAbxZzhLEt7tNKrTXy152HdpreLZTf0yjUSbqxPY_VCIQ_Ok-BeHH9HFRpMooFTE12Ml2icI_ZYMNad_RA/s400/Demanding.jpg
Agenda Besar Kapitalisme Dalam Dunia Pendidikan
Konsekuensi dari komitmen Indonesia masuk menjadi anggota WTOsejak tahun 1994, telah diikuti dengan kesertaan dalam menandatangani GATS (General Agreement on Trade in Services).Kemudian Indonesia pada bulan desember 2005 menandatangani GAT’s (General Agreement on Trade in Services) yang mengatur liberalisasi perdagangan pada 12 sektor, dimana perjanjian tersebut menetapkan pendidikan sebagai salah satu bentuk pelayanan sektor publik yang harus diprivatisasi. Arah liberalisasi pendidikan sejalan dengan logika ekonomi kapitalisme dengan menjadikan pendidikan sebagai barang komersial (Komoditi). Klasifikasi sektor jasa menurut GATS tersebut ada 12 yaitu :
Business services, Communication services, Construction and related engineering services, Distribution services,Education services, Environmental services, Financial services, Health related and social services, Tourism and travel related services, Recreational, cultural and sporting services, Transportational services, and Other services not included elsewhere.”
Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua komoditas jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Liberalisasi (Kapitalisasi) pendidikan sejatinya merupakan kepentingan kelas pemodal dengan orientasi surplus value. Praktek liberalisasi akan menghilangkan tanggung jawab Negara dengan menyerahkan pendidikan kepasar,karena dunia pendidikan merupakan ladang bisnis yang sangat menjanjikan.


Liberalisasi pendidikan sejatinya bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Kepribadian rakyat Indonesia adalah anti terhadap Kolonialisme dan Imperialisme dalam mewujudkan kesejahteraan. Rakyat Indonesia telah dijaminan perlindungan mendapatkankesejahteraan dalam Pembukaan (Preambule) UUD 1945. Bunyi hak konstitusional yang diberikan tersebut adalah sebagai berikut:
”…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...”
UUD 1945 pada esensinya menyatakan bahwa pendidikan nasional bukan bidang usaha jasa untuk menghasilkan tenaga kerja terdidik, yang satu kategori dengan industri pertambangan, perdagangan, jasa perbankan dan keuangan serta jasa-jasa lainnya. Artinya, Pendidikan bukan bidang usaha melainkan upaya sosial, politik dan kultural untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, lebih jauh lagi bahwa pendidikan merupakan jalan untuk memiliki kesadaran diri guna pembebasan nasional menuju kemerdekaan sejati. Oleh karena itu, pendidikan adalah layanan yang merupakan kewajiban Pemerintah dan bukan bidang usaha yang perlu diliberalisasi.

Bahwa hak konstitusional sebagai rakyat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan, mendapatkan pembiayaan dari pemerintah, usaha pemerintah menyediakan seluruh kebutuhan pendidikan dan peningkatan kesejahteraan melalui pemajuan keilmuan dan teknologi diberikan oleh Pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
”(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang;
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Namun sejumlah pasal dalam UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 justru memberikan beban kepada masyarakat untuk mengurus pendidikan. Hal ini jelas tidak benar dan bertentangan dengan UUD 1945 oleh karena negara justru mewajibkan rakyatuntuk membiayai dan mendanai penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan-ketentuan ini secara terang disebutkan dan ada pula yang “diselundupkan” sehingga tidak terlalu terlihat beban masyarakat yang diatur dalam pasal-pasal UU Sisdiknas. Padahal pembebanan penyelenggaraan pendidikan berupa tanggung jawab penyelenggaraan, pembiayaan dan pendanaan kepada masyarakat jelas bertentangan dengan UUD 1945 namun tetap dimasukan dalam UU Sisdiknas. Oleh karena itu, untuk mengingatkan kembali peran negara mensejahterakan rakyatnya melalui pendidikan maka pengambilan keputusan untuk tunduk patuh pada UUD 1945.
Bahwa bunyi Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 adalah penegasan tentang kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan. Kata “hak” dalam hal ini bukanlah istilah yang dimaksud dalam hukum keperdataan, tetapi merupakan penegasan tentang kebutuhan dasar (basic need). Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan dasar ini, negara melalui Pemerintah harus memenuhi segala hal yang dibutuhkan oleh warga negaranya.
Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 merupakan penjelasan mengenai hak warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar dan penegasan bagi Pemerintah untuk membiayainya. Ayat ini bukan berarti menghilangkan beban pembiayaan Pemerintah pada pendidikan ditingkat lainnya, sebab ayat ini hanya menjelaskan wajib belajar dibiayai oleh pemerintah. Jika kembali pada bunyi pasal sebelum perubahan UUD 1945, justru ayat (2) bentuk penegasan bagi pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan di Indonesia. Penegasan ini sebagai bentuk menjelaskan bunyi Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 agar
setiap warga negara mendapatkan pendidikan dari tingkat dasar hingga tinggi.
Pada Pasal 31 ayat (3) menjadi pasal penegas bahwa Pemerintah juga harus membiayai dan memberikan perhatian pada pendidikan tingkat menengah dan tinggi. Ayat (3) ini adalah ayat yang diambil dari ayat (2) sebelum UUD 1945 di amandemen. Artinya, kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan tetap harus dipenuhi oleh pemerintah dengan merumuskannya dalam sebuah Undang-Undang. Adanya kata"mengusahakan" yang artinya mencarikan daya upaya dengan segala kekuatan tenaga, pikiran untuk mencapai sebuah tujuan dan kata"menyelenggarakan" berarti "mengurus" dan "mengusahakan sesuatu". Jadi pada ayat (3), daya upaya dan usaha terus menerus bukan berarti pendidikan semata-mata hanya pendidikan dasar, tetapi daya upaya dan usaha juga harus pada jenjang pendidikan Iainnya sebagaimana terwakili dalam kata-kata "..sistem pendidikan nasional.., " artinya ada proses atau jenjang dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Selanjutnya Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bentuk tanggung jawab negara melalui Pemerintah untuk memenuhi perintah dalam Pasal 31 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Keinginan dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa salah satunya terurai dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dimana keinginan negara untuk menjadi sumber dana bagi penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kata ”memprioritaskan anggaran” berarti dalam pembahasan APBN yang harus dibahas terlebih dahulu adalah kebutuhan anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan yang dinyatakan paling sedikit atau dalam UUD disebutkan "sekurang-kurangnya" dua puluh persen dari APBN dan APBD.
Bahwa untuk menyimpulkan seluruh ayat dalam Pasal 31 UUD 1945, pada ayat (5) adalah penegasan kepada Pemerintah untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kepentingan ini berkaitan dengan pemajuan peradaban manusia dan kesejahteraan umat manusia. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui suatu sistem pendidikan, maka telah diyakini bahwasannya peradaban manusia akan jauh lebih maju dan kesejahteraan setiap warga negara pun akan terjamin. Kata ”memajukan” berarti Pemerintah melakukan tindakan aktif untuk meningkatkan pendidikan lebih dari sebelumnya.
Mala Petaka UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003
Dengan demikian, sangatlah tidak benar dan bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 pengaturan dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang berbunyi: “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”. Ketentuan ini menjelaskan keharusan masyarakat bertanggung jawab atas mati hidupnya penyelenggaraan pendidikan. Pasal inilah yang berorientasi pelepasan tanggung jawab Negara terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional.
Kemudian pada Pasal 9 UU Sisdiknas yang justru mewajibkan masyarakat untuk mendukung sumber daya pendidikan. Frasa Pasal 9 menyatakan “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan” sangat bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945. Makna “sumber daya” berarti segala macam kemampuan masyarakat untuk penyelenggaraan pendidikan. Pasal ini jelas salah satu tanda dan upaya melepaskan tanggung jawab Pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan.
Bahwa Pasal 12 ayat (1) huruf c dan huruf d UU Sisdiknas menjelaskan landasan penyelenggaraan pendidikan harus dibiayai oleh masyarakat. Pada frasa “...orangtuanya tidak mampu...” dan “mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu” bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, dimana sebagai negara yang berkeinginan menjamin kebutuhan dasar maka kebutuhan biaya pendidikan telah dijamin oleh Pemerintah. Dengan adanya jaminan tersebut maka tidak perlu lagi penyebutan orang mampu dan tidak mampu, oleh karena seluruh biaya pendidikan telah ditanggung Pemerintah.
Pasal 24 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan “Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.” Jelas pasal tersebut bertentangan dengan paragraf keempat pembukaan dan Pasal 31 UUD 1945 karena pendidikan merupakan tanggung jawab negara dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga Pasal tersebut telah menghilangkan peran dan tanggung jawab negara atas pendidikan.
Bahwa ketentuan Pasal 46 ayat (1) UU Sisdiknas mengharuskan masyarakat bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan. Frasa “dan masyarakat" dalam ketentuan yang berbunyi “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.” jelas bertentangan dengan paragraf keempat pembukaan dan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 karena telah menempatkan masyarakat menanggung beban yang seharusnya menjadi beban pemerintah. Sumber dana pendidikan sudah seharusnya berasal dari negara dan Pemerintahlah yang harus menyediakannya karena masyarakat telah melimpahkan tanggung jawab tersebut kepada negara melalui pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota serta wakil rakyat dari tingkat pusat hingga daerah, serta adanya pembayaran pajak. Pemerintah dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 wajib memprioritaskan atau mengutamakan pembahasan anggaran pendidikan sekurangkurangnya, berarti anggaran bisa lebih dari dua puluh persen untuk menjadi sumber dana pendidikan untuk penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Pasal ini jelas tidak memposisikan warga negara bertanggungjawab untuk mendanai pendidikan dari biaya sendiri.
Selanjutnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU Sisdiknas yang mengharuskan masyarakat untuk mengerahkan sumber daya yang ada bagi berlangsungnya pendidikan. Frasa Pasal 47 ayat (2) berbunyi “Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” jelas bertentangan dengan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945 dan harus dinyatakan bertentangan, pada frasa “...dan masyarakat....” dan “...sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku”.
Bahwa frasa “...dan masyarakat....” dan “...sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” dalam Pasal 47 ayat (2) Sisdiknas mengharuskan masyarakat untuk mengerahkan sumber daya yang ada bagi berlangsungnya pendidikan jelas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. tugas pemerintah adalah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Pasal ini mengharuskan pemerintah berperan aktif bukan pasif apalagi mengalihkan tanggungjawab kepada masyarakatnya.
Pemerintah dan DPR telah membuat suatu kebijakan yang menentukan bahwa landasan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional adalah badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU BHP. Yang dipersoalkan yakni persoalan pilihan kebijakan Pemerintah dan DPR dalam Undang-Undang yang menjadikan BHP sebagai landasan sistem pendidikan nasional yang ternyata bertentangan dengan amanat UUD 1945. Karena secara berlahan namun pasti Pemerintah menjauhkan diri dari perannya terhadap penyelenggaraan pendidikan. Di sisi lain, penyelenggara pendidikan yang berbentuk BHP akan berlomba-lomba untuk mengembangkan badan hukumnya dengan menggunakan pendidikan sebagai komoditas.
Lebih lanjut pasal 53 ayat (1) sebagai landasan tata kelola perguruan tinggi dalam kerangka liberalisasi pendidikan. Hal ini terbukti dengan munculnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) sebagai kelanjutan pasal 53 ayat (1) telah dinyatakan dicabut dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010.

Dengan demikian banyak kelemahan-kelamahan pada UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 sebagai payung hukum dalam memberikan hak-hak rakyat atas pendidikan. Kemudian UU Sisdiknas telah merugikan rakyat dan menghilangkan peran dan tanggung jawab Negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memjamin hak rakyat atas pendidikan.
Mala Petaka Rancangan Undang-Undang Perguruan tinggi (RUU PT)
Namun di sisi lain, Rezim borjuasi SBY-Boediono hendak meliberalisasikan secara total dengan adanya RUU Perguruan Tinggi. RUU PT tidak lain adalah pengganti dari UU BHP sebagai skema kapitalisasi pendidikan. Totalisasi ini jelas akan mengancam kepentingan rakyat terhadap pendidikan. Pendidikan akan menjadi barang yang mahal bagi rakyat.
Pada Pasal 4 ayat  (2) dalam rancangan undang-undang Perguruan tinggi (RUU PT) menyatakan “Menteri berwenang memberikan kemandirian pada Perguruan Tinggi untuk melaksanakan tata kelola pendidikan tinggi.” Pasal ini jelas bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 pasal 31 yang menghendaki negara bertanggung jawab dalam memberikan layanan pendidikan. Dengan memberikan kemandirian kepada Perguruan Tinggi untuk melaksanakan tata kelola pendidikan tinggi, pemerintah sebagai pelaksana pendidikan nasional telah melepaskan tanggung jawabnya.
Dalam hal pembiayaan yang termuat pada Pasal 54 ayat (1) RUU PT menggantungkan kepada mahasiswa, orang tua, serta donator. Hal itu jelas bertentangan dengan pasal 31 ayat (3) yang menegaskan bahwa negaralah yang harus membiayainya. Ketika rakyat harus dibebani biaya pendidikan, yang nyatanya dari hari ke hari biaya pendidikan semakin mahal maka akses rakyat dalam mendapatkan pendidikan akan tertutup.
Pasal 56 ayat (1) RUU PT menyatakan “PTP dapat menyelenggarakan badan usaha atau portofolio sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pada pasal ini, jelas terlihat bergesernya orientasi pendidikan sebagai badan usaha. Ketika lembaga pendidikan tujuannya mencerdaskan kehidupan bangsa telah berganti menjadi lembaga dagang (badan usaha) yang nafasnya “profit oriented.”
Pasal 58 ayat (1) menyatakan “PTP wajib menjaring dan menerima calon mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa baru.” Pasal diatas terliahat diskriminasi karena telah membeda-bedakan antara yang mampu dan tidak mampu dan mendistorsi hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan. Kemudian dipertegas pada ayat (3) yang berbunyi “Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membayar sesuai dengan kemampuannya dan mendapat bantuan biaya pendidikan.” Penarikan biaya pendidikan terhadap mahasiswa dan ironisnya mahasiswa kurang mampu pun tetap dipaksa membayar. Jelas hal ini bertentangan dengan pasal 31 UUD 1945, karena pendidikan adalah hak rakyat tanpa membedakan status sosial dan Negara wajib membiayai.
Pendidikan Mahal Menutup Akses Rakyat Terhadap Pendidikan yang Berkualitas
Setiap tahun ajaran baru orang tua murid atau mahasiswa dipusingkan dengan mahalnya biaya pendidikan. Sehingga banyak  orang tua yang tidak sanggun menyekolahkan ataupun menkuliahkan anaknya. Dari hasil penelitian, pungutan masuk RSBI sekolah dasar rata-rata SPP Rp 200.000 per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di RSBI SMP, besarnya SPP sekitar Rp 450.000 dan DSP Rp 6 juta. Di SMA/SMK, besarnya SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri.
Kemudian untuk masuk kepergurun tinggi akan lebih besar lagi biaya yang dikeluarkan. Misalnya saja kuliah di President University yang merupakan kampus bergaya internasional biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 25.000.000/ semester, Swiss German University (SGU) yang juga kampus bergaya internasional biaya Rp 24.000.000–28.000.000/ semester. Universitas Pelita Harapan (UPH) Rata-rata biaya kuliah Rp 9.000.000–15.000.000/ semester, Universitas Trisakti Rata-rata biaya kuliah Rp 9.000.000–12.000.000/ semester, Universitas Tarumanagara (UNTAR) Rata-rata biaya kuliah Rp 7.000.000–10.000.000/ semester, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (UAJ) rata-rata biaya kuliah Rp 3.000.000–10.000.000/ semester, dan Institut Teknologi Bandung (ITB), seorang mahasiswa harus merogoh kocek hingga Rp100 juta agar bisa lulus, atau sekitar Rp25 juta per tahun.
Selaian mahalnya biaya pendidikan, out put dari pendidikan nasional tidak mampu mengembangkan kualitas tenaga produktifnya. Kenyataannya Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi pendidikan tinggi dan mutu akademik dibanding dengan negara Malaysia, Filiphina dan Singapura. Karena memang Out put yang dihasilkan dari pendidikan nasional hanya untuk memenuhi permintaan tenagakerja yang murah bagi industri-industri. Jika kita lihat angkatan kerja pada Februari 2011 (BPS), pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sebesar 55,1 juta orang (49,53 persen), sedangkan pekerja dengan pendidikan Diploma sebesar 3,3 juta orang (2,98 persen) dan pekerja dengan pendidikan Sarjana hanya sebesar 5,5 juta orang (4,98 persen).
Disisi lain, mahalnya biaya pendidikan telah membuat para siswa maupun mahasiswa memilih putus sekolah. Karena memang tidak ada jaminan dari Negara bahwa siswa maupun mahasiswa harus tuntas menyelesaikan jenjang pendidikan.
Inflasi Berdampak Pada Akses Rakyat Terhadap Pendidikan
Dengan dipraktekan UU Sisdiknas, dari hari ke hari biaya pendidikan terus menambung tinggi. Hal ini begitu ironis, dimana rakyat Indonesia pada Maret 2010 menurut press release BPS-RI tanggal 27 Januari 2011 terdapat 60,4 juta jiwa berada pada garis kemiskinan (penduduk miskin plus hampir miskin). Kasus kemiskinan pun berdampak pada akses rakyat terhadap pendidikan, yakni rakyat miskin memilikikesulitan mengakses pendidikan dikarenakan biaya yang terus naik.
Ironisnya rakyat miskin dihadapkan pada inflansi yang akan mempengaruhi tingkat partisipasi terhadap pendidikan. Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks pada:
1.             Bahan makanan yang terdiri dari padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya, daging dan hasil-hasilnya, ikan segar, ikan diawetkan, telur, susu dan hasil-hasilnya, sayursayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, bumbu-bumbuan, lemak dan minyak serta bahan makanan lainnya.
2.             Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau yang terdiri dari makanan jadi, minuman yang tidak beralkohol dan tembakau dan minuman beralkohol.
3.             Perumahanair, listrik, gas dan bahan bakar yang terdiri dari biaya tempat tinggal, bahan bakar, penerangan dan air, perlengkapan rumah tangga dan penyelenggaraan rumah tangga.
4.             Sandang yang terdiri dari sandang laki-laki, sandang wanita, sandang anak-anak, barang pribadi dan sandang lain.
5.             Kesehatan yang terdiri dari jasa kesehatan, obat-obatan, jasa perawatan jasmani, perawatan jasmani dan kosmetika.
6.             Transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yang terdiri dari transportasi, komunikasi pengiriman, sarana dan penunjang transportasi dan jasa keuangan.
Oleh karena itu, rakyat dalam usaha bertahan hidup mengalami kesulitan dengan kenaikan harga-harga. Sehingga rakyat terbatasi dalam mengakses jasa pendidikan, kursus-kursus atau pelatihan.
Rakyat Tak Bertanah Berdampak Terhadap Akses Pendidikan
Eskalasi kekerasan terhadap petani di Indonesia berbanding lurus dengan ekspansi lahan baik itu kelas pemodal maupun pemerintah. Konflik tanah bukanlah hal baru di negeri ini. Sejak orde baru, telah terjadi ribuan kasus konflik tanah antara rakyat dan pemerintah, dengan diiringi juga oleh ribuan kasus kekerasan oleh aparat yang mengiringinya. Perihal kekerasan ini adalah buah dari kebijakan orde baru yang sejak berkuasa tidak menjalankan UU Pokok Agraria 1960 yang berpihak kepada kaum tani. Praktik pengadaan tanah di Indonesia masih banyak menyisakan persoalan  hingga kini.
Dari data yang didapat menunjukan sepanjang  tahun 2010  terjadi 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia. Luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektar dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Konflik agraria di awal 2011 telah menyebabkan 11 petani meninggal, 44 orang mengalami luka, baik ringan maupun berat, tujuh orang ditahan, dan ratusan rumah serta tanaman masyarakat dirusak. Posisi sebagian besar rakyat yang tidak dilindungi hak atas tanahnya, mekanisme pembebasan tanah yang bersifat otoriter/ memaksa, serta manipulasi makna ”kepentingan umum”,  merupakan catatan buruk pemerintah  dalam pengaturan dan pengadaan tanah, karena selalurakyat yang dikorbankan. Ironisnya pelaku kekarasan terhadap petani mayoritas dilakukan oleh aparat negara (baik tentara maupun polisi)yang di dikte oleh kelas pemodal. Dengan demikian rakyat yang kehilangan tanah secara paksa oleh kelas borjuasi akan menutup akses terhadap pendidikan, karena tanah sebagai sumber kehidupan telah dirampas.
Politik Upah Murah dan PHK Berdampak Terhadap Akses Pendidikan
Persoalan kelas buruh sampai sekarang ini adalan penerapan sistem kerja kontrak dan outshorcing atau Labour Market Flekxebiltysehingga berpengaruh pada kesejahteraan buruh. Dengan adanya sistem ini buruh akan dibatasi hak-haknya dan riskan terkena PHK sepihak. Pada tahun 2011, setiap bulannya tercatat rata-rata di Indonesia 18.000 buruh manufaktur dan jasa kehilangan pekerjaan. Sementara itu, kaum buruh yang masih bekerja justru dipaksa menerima upah rendah, yakni sekitar 70% penduduk masih berpenghasilan rata-rata 2 US $/ hari dan itu pun lebih rendah dibandingkan upah huruh di negara-negara Asia Tenggara.
Selain itu persoalan yang dihadapi kaum buruh adalah persoalan jaminan sosial, cuti kerja, upah lembur dan uang pesangon yang hampir mayoritas tidak diberikan kepada buruh. Persoalan kaum buruh kemudian diperparah dengan kinerja DISNAKER yang tidak berpihak kepada kepentingan buruh. Pengadilan Hubungan Industri (PHI) sebagai tempat buruh mendapatkan keadilan pun telah dikuasi oleh kaum borjuasi. Hal itu terlihat dari banyaknya kasus suap oleh pengusaha terhadap hakim ataupun jaksa. Posisi rezim borjuasi tidak berupaya mensejahterakan buruh melainkan memperparah kondisi buruh dengan niatan merevisi UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 yang pro terhadap kelas pemodal. Minimnya kesejahteraan buruh dengan upah yang rendah dan PHK, jelas akan mempengaruhi akses dalam mengenyam pendidikan.
Pendidikan Sebagai Ideologi Kelas Borjuasi
Kelas borjuasi dengan mazhab kapitalismenya, jelas memiliki kepentingan dalam dunia pendidikan nasional. Institusi pendidikan digunakan sebagai alat yang mentranformasikan kepentingan-kepentingan kelas borjuasi. Idiologisasi yang dilakukan kelas borjuasi yaitu menciptakan kebudayaan diam. Menurut Poulo Freire, kebudayaan diam merupakan kondisi di mana rakyat dibuat tunduk dan taat sedemikian rupa oleh penguasa, sehingga rakyat tidak bisa atau berani mempertanyakan keberadaannya, dan pada akhirnya cenderung menerima keberadaan itu secara fatalistis.
Kemudian, bahwa pendidikan sebagai ruang ideologisasi kelas borjuasi telah mengendalikan paradigma pendidikan nasional. Pendidikan diarahkan untuk pemperkuat sistem kapitalisme serta membenarkan praktek jahat atas penghisapan. Disini propaganda borjuasi akan menjauhkan pelajar maupun mahasiswa terhadap lingkungan masyarakat, menjauh dari realitas kemanusiaan dan kondisi masyarakat yang tengah dialami.
Ilusi borjuasi yang sekarang ini menjadi magnet dikalangan akademisi adalah kurikulum “Enterpreneurship” (kewirausahaan). Kurikulum tersebut merupakan siasat guna melancarkan proses akumulasinya. Hal itu juga sebagai tambal sulam dari ketidak-mampuan rezim borjuasi dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat.
Hal yang lain juga, pendidikan hanya menciptakan robot-robot industri yang murah guna menggerakan produksi kapitalis. Bahkan yang terlihat sekarang, bahwa pendidikan telah menciptakan sarjana-sarjana yang mendukung kebijakan rezim dan melemahkan rakyat.
Dengan demikian, kekuatan ideologi borjuasi harus di intervensi dengan ideologi kelas yang mayoritas sedang mengalami ketertindasan, yaitu idelogi kelas proletar. Idelogi proletar harus mencari ruang di dalam institusi pendidikan. Sebagai gambaran, strategi “Rakjat Masoek Kampoes” sekarang ini harus dibudayakan untuk menggeser ideology borjuasi.
Kesimpulan
Rezim yang menganut sistem kapitalisme tidak akan pernah mensejahterakan rakyat dan akan melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelayanan pendidikan nasional. Sehingga pendidikan menjadi sektor jasa yang di perjual-belikan demi kepentingan surplus value. Dan rezim borjuasi akan menciptakan regulasi atau kebijakan yang mempermudah penguasaan pendidikan oleh kelas pemodal. Regulasi sebagai liberalisasi pendidikan tercermin pada UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 dan Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi. Sejatinya regulasi tersebut bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan pasal 31 UUD 1945. Dan dampak dari liberalisasi pendidikan ini adalah rakyat akan kehilangan akses terhadap pendidikan. Disisi lain rakyat dibebani oleh inflansi, perampasan tanah dan upah murah yang semakin membuat rakyat menderita. Sehingga pendidikan menjadi barang yang langka bagi rakyat.
Sehingga peran Negara harus di kembalikan seperti semula seperti yang telah diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945 dan pasal 31 UUD 1945 dan setiap ada regulasi yang bertentangan harus di batalkan. Oleh karena itu, Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerakyatan merupakan suatu keharusan.
Selanjutnya sebagai strategi melawan ideoligisasi borjuasi dalam institusi pendidikan, perlu adanya intervensi ideologi proletar (Rakjat Masoek Kampoes). Harapannya metede ini dapat memberikan kesadaran yang luas bagi pelajar maupun mahsiswa dalam melihat realitas sejatinya yang dihadapi rakyat. Bahkan metode ini dapat membangkitakan perjuangan dan radikaliasi pelajar-mahasiswa dalam perjuangan kampus (pendidikan) dan perjuangan rakyat (multi-sektor).

Sabtu, 24 November 2012

Pengertian dasar Marhaenisme

Oleh : Sutoro SB (Alumni GMNI Jogjakarta)


Pendahuluan

Banyak orang belajar/mempelajari Marhaenisme, yakni ajaran Bung Karno. Namun tidak menemukan apa sebenarnya inti dan kehendak dari ajaran tersebut. Mereka tidak atau belum menemukan "benang merahnya". Dengan demikian maka sepertinya mereka sekedar mempelajari secara lahir tentang perjuangan dan keberhasilan Bung Karno di masa yang silam, karena mereka cuma mewarisi abunya sejarah bukan apinya sejarah.
Apabila setiap pengikut ajaran Bung Karno hanyalah demikian adanya, hanya sekedar pewaris-pewaris abu sejarah belaka, alangkah sayangnya ajaran yang brilliant itu kemudian menjadi kenang-kenangan (sekalipun kenang-kenangan yang indah). Marhaenisme kemudian menjadi "out of date". Adalah menjadi tanggungjawab kita bersama untuk kembali menghidupkan jiwa ajaran tersebut, kembali menemukan arti kebaikan bagi rakyat. Dengan demikian Marhaenisme akan menampakkan jiwanya sebagai ajaran yang dinamis dan selalu up to date.

Untuk itulah maka mempelajari Marhaenisme tidaklah cukup hanya mempelajari pengertian-pengertiannya yang verbal, akan tetapi kita mencoba untuk menukik lebih dalam mencoba mengkaji makna hakikinya. Dengan demikian maka di samping kita mengerti apa Marhaenisme (secara verbal), kita coba menelaah mengapa dan juga untuk apa Marhaenisme yang meliputi mengapa lahir Marhaenisme dan mengapa kita pilih sekarang serta untuk apa sebenarnya kita memiliki Marhaenisme itu.

 

Pengertian dasar Marhaenisme

Marhaenisme - Marhaen - Marhaenis

Marhaenisme, adalah ajaran Bung Karno. Pengertianya adalah meliputi asa (teori politik) dan asas perjuangan.
Sebagai asa atau teori politik, ia adalah teori yang menghendaki susunan masyarakat dan negara yang didalam segala halnya menghendaki keselamatan kaum Marhaen*. Sebagai teori politik meliputi pengertian :
1.             Sosio Nasionalisme,
2.             Sosio Demokrasi,
3.             Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sosio Nasionalisme; adalah nasionalisme masyarakat, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wet nya masyarakat itu**.
Sosio Demokrasi; adalah merupakan konsekuensi daripada Sosio Nasionalisme. Sosio demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan kedua kakinya didalam masyarakat***. Sosio Demokrasi tidak untuk kepentingan sekelompok kecil masyarakat akan tetapi adalah untuk kepentingan seluruh masyarakat.
Marhaen; adalah diambil dari nama seorang petani yang ditemui oleh Bung Karno di daerah Priangan. Marhaen digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan kelompok masyarakat/bangsa Indonesia yang menderita/sengsara. Ia sengsara/menderita bukan karena kemalasannya atau kebodohannya, akan tetapi ia sengsara/menderita karena disengsarakan oleh sesuatu sistem/stelsel kapitalisme-kolonialisme.
Marhaen meliputi unsur-unsur tani, buruh-tani, pedagang kecil yang melarat, dan semua kaum melarat lainnya yang dimelaratkan oleh sistem/stelsel kapitalisme-kolonialisme dan feodalisme.
Marhaenis, adalah penganut ajaran Marhaenisme yang berjuang menurut petunjuk ajaran-ajaran Marhaenisme, berjuang dengan bersama-sama/mengorganisir berjuta-juta kaum marhaen yang tersebar di seluruh tanah air.

2.1. Marhaenisme sebagai asas/teori politik sebenarnya merupakan kesimpulan, sekaligus sebagai teori perjuangan.
Artinya : pada saat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia (Marhaen) menderita karena suatu sistem/stelsel. Sebetulnya ia penuh potensi dan bukan kaum yang malas.
Dengan demikian maka Marhaenisme mengandung teori perjuangan. Masalahnya mengapa sampai tiba kesimpulan yang demikian itu? Disinilah makna daripada Marhaenisme. Dengan visi Marhaenisme (yang berpihak kepada rakyat), kita dapat menganalisa masyarakat dan hasilnya adalah kita mengetahui kesengsaraan rakyat yang disebabkan oleh suatu sistem/stelsel. Dan dengan itu pula kita dapat menentukan cara berjuangnya.

2.2. Marhaenisme adalah kesimpulan dari penelaahan terhadap kondisi masyarakat Indonesia.
Kita ketahui bahwasanya masyarakat itu berkembang, seperti yang dijelaskan dalam metode berpikir marhenisme tentang "THESA-ANTITHESA-SYNTESA". Demikianlah masyarakat berkembang terus dari suatu thesa (keadaan) kepada thesa (keadaan) berikutnya, sampai pada thesa yang terakhir. Gerak ini kita kenal sebagai "DIALEKTIKA". Dengan dialektika, selanjutnya kita dapat melihat dua elemen dalam masyarakat yang selalu berhadapan, yakni :
·                     element establishment, dan
·                     elemen perubahan.
Elemen establishment adalah elemen yang menguasai thesa dan menjalankan suatu stelsel/sistem sebagai kelangsungan thesa (keadaan) tersebut. Elemen perubahan adalah elemen yang berada pada struktur antithesa. Apabila thesa pertama telah gugur karena munculnya antithesa, maka keadaan baru atau sinthesa akan dikuasai oleh elemen perubahan tersebut. Selanjutnya pada saat itu elemen perubahan menjadi elemen establishment. Demikianlah proses semacam ini berjalan terus sampai tercipta thesa terakhir yakni satu bentuk stelsel /sistem kemasyarakatan yang terakhir dan sempurna (dalam ajaran Marhaenisme, bentuk tersebut adalah Sosialisme Indoneisa).

Dari teori di atas dapat dianalisa keadaan masyarakat Indonesia. Ketika kolonialisme Belanda menguasai maka posisinya adalah sebagai establishment. Ia menguasai suatu thesa/keadaan (penjajahan) dan menjadi suatu stelsel/ sistem kapitalisme-kolonialisme.
Pada saat yang bersamaan , disitu telah terdapat pula elemen perubahan,- yakni masyarakat Indonesia yang tidak puas dengan keadaan. Semula kekuatan perubahan ini bersifat latent, setelah kekuatan ini berhasil diungkapkan - maka menjadi kekuatan riil untuk merubah keadaan. Cara pengungkapan kekuatan latent menjadi kekuatan riil itulah yang kemudian dirumuskan sebagai asa/teori perjuangan. Didalam buku MENCAPAI INDONESIA MERDEKA teori atau asas perjuangan disebutkan antara lain melipuit : self-help, self-relience, non kooperatip, machtvrming, massa aksi, revolusioner.

Setelah terjadi perubahan (kemerdekaan Indonesia) dan elemen perubahan berubah menjadi elemen establishment dan telah menguasai keadaan maka dibutuhkan teori-teori atau asas untuk menyusun sistem/stelsel kemasyarakatan. Dari hasil telaah yang mendalam ditemukan teori politik yang merupakan jawaban (antithesa) dari keadaan (thesa) yang ada.
Secara singkat digambarkan sebagai berikut:
Elemen
Establismen
Kondisi Bangsa
Indonesia
Elemen Perubahan
-

Kegotong-royong
-
-

Theistis
-
-

Dsb
Ketuhanan Yang Maha Esa
Devide et impera
Terpecah belah
Kebangsaan / Persatuan Indonesia
Dehumanisme

Tertindas
Humanisme / Kemanusiaan
Penjajahan

Tidak ada kedaulatan politik
Demokrasi / Kerakyatan
Penghisapan

keadilan
Keadilan sosial

Catatan: Dalam kenyatan masyarakat masing-masing kondisi tersebut tidak dapat selalu dipisahkan, akan tetapi saling berkaitan.

Dengan demikian maka nampaklah bahwa baik sebagai teori politik/asas maupun sebagai teori perjuangan, adalah merupakan jawaban terhadap keadaan.

Mengapa Memilih Marhaenisme
Persoalan berikutnya adalah mengapa sampai terjadi kesimpulan tersebut ? dengan kata lain; mengapa mesti lahir Marhaenisme, demikian pula mengapa pula kita memilihnya?
Pada proses dialektika seperti disebutkan di depan, maka rakyat berada pada elemen perubahan karena ia (rakyat) jelas merupakan bagian masyarakat yang menderita akibat satu sistem/stelsel yang dipertahankan oleh elemen establishment. Proses perubahan tersebut adalah sudah menjadi keharusan sejarah dan merupakan hukum alam, dan mesti terjadi. Karena setiap Marhaenis menghendaki perbaikan nasib rakyat, maka ia pasti berpihak kepada rakyat, berpihak kepada perubahan, karena perubahan yang terjadi adalah satu proses yang menuju kepada perbaikan nasib rakyat. Ketika Bung Karno dengan pisau analisanya mencoba meneelaah keadaan yang terjadi atas bangsanya dan dilihatnya elemen establishment (kolonialisme Belanda) dan elemen perubahan (Marhaen yang menderita) maka tercetuslah ajaran ajarannya yang menghendaki perubahan dengan jalan "merdeka sekarang juga". Dengan kemerdekaan nasional (sebagai jembatan emas) akan diperbaikilah nasib Marhaen yang menderita.
Maka boleh disimpulkan; karena adanya kolonialisme Belanda dan karena adanya Marhaen yang menderita dan atas kemampuan Bung Karno, lahirlah "MARHAENISME" sebagai teori politik dan teori perjuangan yang menghendaki perubahan-perubahan menuju perbaikan nasib Marhaen.

Persoalan berikutnya adalah merupakan hal yang penting bagi kita. Mengapa kita memilih Marhaenisme sebagai anutan? Menjawab pertanyaan tersebut maka terlebih dahulu kita menjawab permasalahan berikut, yakni :
·             Apakah proses perubahan/dialektika itu masih akan terjadi ?
·            Berada pada pihak manakah kita dalam pertentangan dua elemen yang ada (establishment dan perubahan) tersebut ?
Di dalam metode berpikir Marhaenisme telah jelas diterangkan tentang pola perubahan dalam masyarakat, secara sedarhana dapat digambarkan sebagai berikut:


Thesa
Antithesa
Synthesa/Thesa Baru
Antithesa
Syntesa/Thesa Baru
Feodalisme
perubahan
Kapitalisme
perubahan
Sosialisme
I
II
III

Melihat proses tersebut kita dihadapkan pada pilihan untuk menilai dimanakah fase perkembangan masyarakat yang ada. Apabila kesimpulan kita bahwa masyarakat sosialisme Indonesia (III) belum tercapai maka berarti proses perubahan masih akan terjadi. Dalam hal ini setiap Marhaenis berpihak pada elemen perubahan yang menuju kepada perbaikan nasib kaum Marhaen/rakyat.


Untuk Apa Marhaenisme ?

Setelah kita tahu apa dan mengapa marhaenisme, maka masalahnya adalah penarikan relevansinya pada saat ini. Dengan kata lain, untuk apakah marhaenisme ?
Jawabannya adalah sangat sederhana "UNTUK BERJUANG". Namun demikian sekalipun ungkapan diatas adalah sangat sederhana, akan tetapi menerangkan masalah ini sebenarnya memerlukan uraian yang sangat panjang.

Konotasi "BERJUANG" adalah berarti memperjuangkan nasib rakyat. Lalu kita mencoba mengkaji dan menelaah masalah kekinian untuk kemudian mengambil sikap. Pertama, kita lihat bagaimana, dan bagaimana kesimpulannya. Kalau kesimpulan kita adalah "PENDERITAAN", maka masalah berikutnya adalah: mengapa mereka menderita?, apa penyebabnya?, dan sebagainya.

Secara sederhana kita simpulkan secara global, ambilah TRISAKTI TAVIP sebagai tolok ukur. Rumusan Trisakti adalah: 
1.             Berdikari dalam bidang ekonomi.
2.             Berdaulat dalam bidang politik.
3.             Berkepribadian dalam kebudayaan.
Trisakti merupakan tolok ukur untuk menilai kemerdekaan. Dinamakan merdeka apabila ketiga hal tersebut telah dipenuhi, atau setidaknya dalam proses menuju kesana. Dikatakan bahwa kemerdekaan adalah sekedar "Jembatan Emas". Diseberang jembatan itu kita bangun Sosialisme Indonesia, kita bangun Indonesia yang "gemah ripah lohjinawi". Masalahnya sekarang bagaimanakah keadaan jembatan tersebut, untuk menilai hal ini kita punya tolak ukur di atas. Demikian pula mari kita lihat keadaan masyarakat Marhaenis dengan menggunakan pisau analisa Marhanisme, baru kemudian kita bisa menentukan sikap dengan terlebih dahulu memilih siapa kawan kita, dan siapa lawan kita.
Penutup

Kalau kita melihat pola perubahan masyarakat melalui proses dialektika, maka seolah-olah kita terpukau, apakah untuk mencapai Sosialisme Indonesia harus melalui fase kapitalisme? Bung Karno menjelaskan bahwa tanpa melalui fase kapitalisme kita dapat mencapai Sosialisme Indonesia. Teori ini kemudian disebut dengan "fase Sprong Teory". Dengan pentahapan revolusi, maka dengan meloncati fase kapitalisme kita dapat langsung menuju sosialisme. Ternyata Bung Karno tidak sendiri, artinya bahwa pendapat beliau (teori fase sprong) bukan satu-satunya pendapat atau teori yang berpendapat bahwa tanpa melalui kapitalisme dapat terbentuk sosialisme. Ernesto Che Guevara, seorang pejuang revolusioner dari Kuba (yang terbunuh di Bolivia) mempunyai pendapat yang sama walaupun dalam rumusannya yang berbeda. Dikatakannya sebagai berikut:

"It’s not necessary to weak for fullfillment condition a revolution, because the focus of insurection can create them".
Maksudnya, tanpa menunggu kondisi penuh untuk suatu revolusi (mencapai sosialisme), sosialisme akan tercapai. Karena revolusi untuk mencapai sosialisme akan terbentuk dengan sendirinya dengan dihidupkannya pergolakan-pergolakan, yang artinya masyarakat digembleng dalam suasana revolusioner secara terus menerus. Bung Karno membagi tahapan revolusi sebagai berikut:

·                                             fase satu, nasionalisme demokrat
·                                             fase dua, sosialisme demokrat
·                                             fase tiga, sosialisme indonesia

Pada fase satu, semua elemen progresif dipersatukan, semua potensi nasional disatukan (Nation And Character Building) untuk menyingkirkan musuh dan penghalang revolusi. Pada fase kedua, setelah semua penghalang revolusi berhasil disingkirkan, maka selanjutnya adalah membangun landasan dasar sosialisme. Landasan mental telah tercipta ( dengan Nation And Character Building) maka dibangunkanlah landasan fisiknya. Dengan berakhirnya fase kedua maka kita telah siap memasuki fase tiga, yakni Sosialisme Indonesia.