Senin, 13 Agustus 2012

Sejarah Lahirnya GmnI



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfHdWs_Xn2fxpdthxlsVs1d3dHIovXMYb1mXlS4F8NZagtRpkFaT_gewNqwqqJ3Sxw-3R4GhXxMfkZLzyXhd24gI3V0KPgxVvR6wA0MwqkX5m8Tm_kPlYIPmOrqVC2E4NolKPt8dpBQPo/s200/Logo_GMNI_Kecil.png
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GMNI adalah organisasi kemahasiswaan yang merupakan fusi dari tiga organisasi mahasiswa yang memiliki kesamaan azas yaitu Marhaenisme. Ketiga organisasi tersebut adalah : Gerakan Mahasiswa Marhaenis (berpusat di Yogyakarta), Gerakan Mahasiswa Merdeka (berpusat di Surabaya), dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (berpusat di Jakarta). Gagasan untuk melakukan fusi tersebut muncul pada saat Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian dewan pengurus dari Drs. Sjarif kepada M. Hadiprabowo pada awal bulan September 1953.. Dalam suatu rapat GMDI yang diadakan di Gedung Proklamasi, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta tercetus keinginan untuk melakukan fusi, dan ketika keinginan itu disampaikan kepada kedua pimpinan organisasi yang lain ternyata mendapat sambutan positif.
Sebagai tindak lanjut, maka dilaksanakanlah beberapa pertemuan antara ketiga pimpinan organisasi mahasiswa tersebut. Sampai akhirnya tercapai kesepakatan pada pertemuan yang dilaksanakan di rumah dinas walikota Jakarta, Bapak Soediro, Jl. Taman Soeropati. Beberapa kesepakatan yang dicapai adalah : ( 1 ). Setuju untuk melakukan fusi, ( 2 ). Wadah organisasi hasil fusi berazaskan Marhaenisme, ( 3 ). Akan Melaksanakan kongres di Surabaya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah pertemuan.
Kongres pertama akhirnya terlaksana di Surabaya setelah mendapat restu dari Presiden RI, Ir. Soekarno pada tanggal 22 – 26 Maret 1954. pada kongres tersebut dibentuk dan ditetapkan sebuah organisasi yang bernama GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA (GMNI) dan tanggal pelaksanaan kongres pertama tersebut sekaligus diperingati sebagai hari kelahiran GMNI, yaitu tanggal 23 Maret 1954.
Azas dan Prinsip
GMNI berazaskan Marhaenisme, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam aktifitas dan usaha perjuangannya GMNI memiliki prinsip-prinsip perjuangan yang melekat dalam tubuh GMNI dan menjadi watak dasar perjuangan GMNI, yakni : GMNI berjuang untuk rakyat dan GMNI berjuang bersama rakyat.
Tujuan
GMNI lahir dari identitasnya yang hakiki sebagai “ORGANISASI KADER DAN ORGANISASI PERJUANGAN”. Sebagai organisasi kader GMNI bertujuan melakukan pendidikan terhadap anggotanya agar menjadi kader bangsa yang tanggap, tangguh, progresif, dan revolusioner. Sebagai organisasi perjuangan, GMNI senantiasa melakukan usaha bagi tercapainya masyarakat yang berkeadilan sosial, makmur, sejahtera, terhormat, dan bermartabat sesuai dengan cita-cita Proklamasi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Sejarah Singkat
Sebagaimana disebut di atas GMNI lahir sebagai hasil proses peleburan 3 (tiga) organisasi mahasiswa yang berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno, yaitu Gerakan Mahasiswa Marhaenis (Yogyakarta), Gerakan Mahasiswa Merdeka (Surabaya) dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (Jakarta).
Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa itu mulai tampak ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.
Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seazas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positif.
Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajakan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain :
1.           Setuju untuk melakukan fusi
2.           Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi bernama “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ” (GMNI).
3.           Azas organisasi adalah: MARHAENISME ajaran Bung Karno.
4.           Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di Surabaya, dalam jangka waktu enam bulan setelah pertemuan.
Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain:
1.           Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka :
-          Slamet Djajawidjaja
-          Slamet Raharjo
-          Heruman

2.                  Dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis :
-          Wahyu Widodo
-          Subagio Masrukin
-          Sri Sumantri Martosuwignjo
3.                  Dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia :
-          S. M. Hadiprabowo
-          Djawadi Hadipradoko
-          Sulomo
Hasil kesepakatan tersebut, akhirnya terwujud. Dengan direstui Presiden Sukarno, pada tanggal 22 Maret 1954, dilangsungkan KONGRES I GMNI di Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi GMNI (Dies Natalis) yang diperingati hingga sekarang. Adapun yang menjadi materi pokok dalam Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil kesepakatan antar tiga pimpinan organisasi yang ber-fusi, juga untuk menetapkan personalia pimpinan di tingkat pusat.
Sehubungan dengan banyak persoalan yang sebenarnya belum terselesaikan dalam forum Kongres I, maka dua tahun kemudian (1956), GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES II GMNI di Bandung, dengan pokok persoalan di seputar masalah konsolidasi internal organisasi. Sebagai hasil realisasi keputusan Kongres II ini, maka Organisasi cabang GMNI mulai tertata di beberapa kota.
Akibat dari perkembangan yang kian meningkat di sejumlah basis organisasi, tiga tahun setelah Kongres II, GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES III GMNI di Malang tahun 1959, yang dihadiri sejumlah Utusan cabang yang dipilih melalui Konperensi Cabang masing-masing. Berawal dari Kongres III ini, GMNI mulai meningkatkan kiprahnya, baik dalam lingkup dunia perguruan tinggi, maupun ditengah-tengah masyarakat.
Dalam kaitan dengan hasil Kongres III ini, masih pada tahun yang sama (1959) GMNI menyelenggarakan Konperensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, dan Presiden Sukarno telah berkenan ikut memberikan Pidato Sambutan yang kemudian dikenal dengan judul “Hilangkan Steriliteit Dalam Gerakan Mahasiswa !”.
Untuk lebih memantapkan dinamika kehidupan pergerakan GMNI, maka direncanakan pada tahun 1965 akan diselenggarakan Kongres V GMNI di Jakarta. Namun Kongres V tersebut gagal terlaksana karena gejolak politik nasional yang tidak menentu akibat peristiwa G30S/PKI. Kendati demikian, acara persiapannya sudah sempat direalisiir yakni Konperensi besar GMNI di Pontianak pada tahun 1965. Dalam Konferensi besar ini telah dihasilkan kerangka Program Perjuangan, serta Program Aksi bagi Pengabdian Masyarakat.
Dampak peristiwa G30S/PKI bagi GMNI sangat terasa sekali, sebab setelah peristiwa tersebut, GMNI dihadapkan pada cobaan yang cukup berat. Perpecahan dalam kubu Front Marhaenis ikut melanda GMNI, sehingga secara nasional GMNI jadi lumpuh sama sekali. Di tengah hantaman gelombang percaturan politik nasional yang menghempas keras, GMNI mencoba untuk bangkit kembali melakukan konsolidasi. Terlaksana KONGRES V GMNI di Salatiga tahun 1969 (yang seharusnya di Jakarta tetapi gagal dilaksanakan). Namun Kongres V ini tetap belum bisa menolong stagnasi organisasi yang begitu parah.
Namun demikian kondisi ini tampaknya telah membangkitkan kesadaran-kesadaran baru dikalangan warga GMNI, yakni kesadaran untuk tetap bergerak pada kekuatan diri sendiri, maka mulai 1969, thema “Independensi GMNI” kembali menguasai alam pikiran para aktivis GMNI khususnya yang berada di Jakarta dan Yogyakarta. Tuntutan Independensi ini mendapat reaksi keras, baik dari kalangan Pimpinan Pusat GMNI maupun dari PNI/Front Marhaenis. Tuntutan independensi ini sebenarnya merupakan upaya GMNI untuk kembali ke “Khittah” dan “Fitrah” nya yang sejati. Sebab sejak awal GMNI sudah independen. Tuntutan ini sesungguhnya sangat beralasan dan merupakan langkah antisipasi, sebab tidak lama kemudian terjadi restrukturisasi yang menyebabkan PNI/FM berfusi kedalam PDI.
Setelah gejolak politik reda, GMNI kembali memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun kembali organisasinya. Dilaksanakan KONGRES VI GMNI di Ragunan-Jakarta tahun 1976, dengan thema pokok: “Pengukuhan Independensi GMNI serta Konsolidasi Organisasi”. Hal lain yang patut dicatat dalam Kongres VI ini adalah penegasan kembali tentang Azas Marhaenisme yang tidak boleh dicabut oleh lembaga apapun juga, serta perubahan model kepemimpinan kearah kepemimpinan kolektif dalam bentuk lembaga Presidium.
Selain itu, Kongres VI mempunyai arti tersendiri bagi GMNI, sebab mulai saat itu telah terjadi regenerasi dalam keanggotaan GMNI, yang ditandai dengan munculnya sejumlah pimpinan basis dan cabang dari kalangan mahasiswa muda yang tidak terkait sama sekali dengan konflik internal PNI/FM di masa lalu.
Mengingat persoalan konsolidasi meliputi berbagai aspek, maka masalah yang sama dibahas pula dalam KONGRES VII GMNI di Medan tahun 1979. Dalam Kongres VII ini kembali ditegaskan bahwa: Azas organisasi tidak boleh diubah, Independensi tetap ditegakkan, dan konsolidasi organisasi harus seimbang dengan konsolidasi ideologi.
Titik cerah bagi GMNI yang mulai bersinar di tahun 1979 ternyata tidak berlangsung lama. Intervensi kekuatan di luar GMNI, yang memang menginginkan GMNI lemah, dengan berpadu bersama ‘interest pribadi’ segelintir oknum pimpinan GMNI, telah mengundang malapetaka terhadap organisasi mahasiswa ini.
Kongres VIII GMNI yang sedianya akan diselenggarakan di Jogjakarta mengalami kegagalan karena diprotes oleh sejumlah cabang (Jakarta, Medan, Malang, Manado, Bandung, dan lain-lain), karena tercium indikasi kecurangan untuk memenangkan aspirasi pihak luar dalam Kongres VIII itu. tetapi usaha filtrasi dan perlemahan GMNI tetap berlangsung sewaktu KONGRES VIII GMNI di Lembang-Bandung tahun 1982.
Hanya dengan pengawalan ketat dari aparat negara, Kongres VIII tersebut bisa berlangsung, dan dimenangkan oleh segelintir oknum pimpinan GMNI tadi, namun dampaknya bagi organisasi sangat besar sekali.
Presidium GMNI hasil Kongres VIII terpecah-belah, dan disusul perpecahan berangkai semua cabang. Program Kaderisasi, regenerasi akhirnya macet total.
KONGRES IX GMNI di Samarinda tahun 1985 gagal menampilkan wajah baru dalam struktur kepemimpinan GMNI, disamping kegagalan dalam proses pembaharuan pemikiran serta operasional program.
Perpecahan ini akhirnya menjalar ke berbagai struktur organisasi dan mencuat dalam KONGRES X GMNI di Salatiga tahun 1989, yang diwarnai kericuhan fisik. Dampak dari kegagalan regenerasi dan kaderisasi Kongres X akhirnya hanya menampilkan wajah lama dalam struktur kepemimpinan GMNI.
Dan yang lebih menyedihkan lagi, para oknum pimpinan GMNI di tingkat Pusat terjebak dengan kebiasaan saling “pecat-memecat”. Identitas sebagai organisasi perjuangan menjadi luntur, sebab yang lebih menonjol justru perilaku sebagai “birokrat GMNI”. untuk mempertahankan status quo, dan sekaligus untuk melestarikan budaya tadi, oknum-oknum pimpinan pusat mulai mengintrodusiir apa yang disebut “Komunitas Baru GMNI” yang ditetapkan melalui deklarasi Jayagiri. Inilah cobaan yang terberat dihadapi GMNI. Sebab organisasi ini tidak hanya terperangkap dalam konflik kepentingan perorangan yang bersifat sesaat, tetapi juga mulai mengalami erosi idealisme, serta kegersangan kreativitas dan inovasi.
Secara Nasional, kesadaran untuk memperbaiki arah perjuangan tampaknya belum muncul. Pada KONGRES XI GMNI di Malang tahun 1992, kejadian di Salatiga kembali terulang. Sementara suara-suara cabang yang menuntut otonomi semakin nyaring dan meluas.
Kondisi ini kemudian melahirkan format baru dalam tata hubungan antar kader pejuang pemikir-pemikir pejuang yakni: hubungan kejuangan yang bersifat personal-fungsional. Sebab hubungan formal-institusional tidak efektif lagi.
“Perlawanan” cabang-cabang kembali dilakukan di KONGRES XII GMNI di Denpasar Bali tahun 1995, tetapi keberhasilan hanya pada tingkatan materi program. Di mana kemudian dikenal dan dimunculkan kembali di AD/ART mengenai Azas perjuangan “Sosialis Religius – Progressif Revolusioner” yang membuat banyak pihak terkejut-kejut, tetapi ‘kekalahan’ terjadi pada pertempuran perebutan pimpinan nasional yang kembali di-warnai oleh intervesi ‘orang-orang lama’ GMNI. Isu money-politics sangat kental di forum Kongres XII ini.
Di saat cabang-cabang kembali mulai menata diri, perpecahan kembali melanda Presidium hasil Kongres XII Bali, saling boikot dan intrik menjadi makanan utama sehari-hari di sekretariat pusat GMNI Wisma Marinda. Pada saat itu cabang-cabang tidak ambil pusing dengan tetap bergerak menguatkan garis ideologi yang mulai kurang tersentuh. Dimulai dengan dialog dan pembongkaran wacana mengenai Marhaenisme di Yogyakarta dan kemudian dilanjutkan di Surabaya 14-17 Juli 1998. cabang-cabang semakin memantapkan hubungan dengan tidak menghiraukan perpecahan yang terjadi di tingkat pusat.
Ketika terjadi pergerakan massif mulai Mei 1998, cabang-cabang dapat ‘berbicara banyak’ di tingkat kota masing-masing, tetapi tidak begitu halnya dengan GMNI di tingkat nasional. Perubahan politik di tingkat nasional rupanya semakin ‘tidak menyadarkan pimpinan GMNI’. Perpecahan ini memuncak saat beberapa oknum pimpinan GMNI ikut mendaftarkan diri menjadi calon legislatif PDI Perjuangan. Cabang-cabang bereaksi keras dengan menarik dukungannya terhadap pimpinan nasional saat itu.
Kongres XIII GMNI yang sedianya dilaksanakan di Kupang-NTT mendapatkan protes keras dari cabang-cabang karena bagi sebagain cabang prosesnya tidak konstitusional dan penuh rekayasa; termasuk perilaku ‘saling membubarkan’ efek dari perpecahan Presidium. Akhirnya Kongres tersebut terselenggara dengan diboikot 19 cabang antara lain Medan, Bandung, Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Jember, Malang, Denpasar, Pontianak, dll.
Beberapa cabang yang menolak hasil kongres XIII di Kupang kemudian melaksanakan pertemuan-pertemuan intensif yang pada akhirnya melahirkan kesepakatan untuk melaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB) yang dilaksanakan di Semarang pada tahun 2001. kongres ini melahirkan struktur pimpinan nasional yang berbeda dengan struktur kepemimpinan yang dilahirkan di kongres XIII di Kupang, dan sejak saat itu, terjadi dualisme kepemimpinan nasional GMNI. Kondisi ini terus berlanjut, pada tahun 2002, presidium hasil kongres Kupang melaksanakan kongresnya di Manado, dan Presidium hasil kongres luar Biasa Semarang juga melaksanakan kongresnya di Medan pada tahun 2003.
Kondisi ini membuat GMNI semakin tidak produktif, dengan semangat persatuan, akhirnya dilaksanakanlah kongres bersama yang diberi nama kongres persatuan yang dilaksanakan di Sungai Liat, dengan panitian DPC pangkal Pinang pada tahun 2006. Kongres ini berhasil menyatukan kembali GMNI secara nasional dan berhasil membentuk satu struktur kepemimpinan pada tingkat nasional.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfHdWs_Xn2fxpdthxlsVs1d3dHIovXMYb1mXlS4F8NZagtRpkFaT_gewNqwqqJ3Sxw-3R4GhXxMfkZLzyXhd24gI3V0KPgxVvR6wA0MwqkX5m8Tm_kPlYIPmOrqVC2E4NolKPt8dpBQPo/s200/Logo_GMNI_Kecil.png
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GMNI adalah organisasi kemahasiswaan yang merupakan fusi dari tiga organisasi mahasiswa yang memiliki kesamaan azas yaitu Marhaenisme. Ketiga organisasi tersebut adalah : Gerakan Mahasiswa Marhaenis (berpusat di Yogyakarta), Gerakan Mahasiswa Merdeka (berpusat di Surabaya), dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (berpusat di Jakarta). Gagasan untuk melakukan fusi tersebut muncul pada saat Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian dewan pengurus dari Drs. Sjarif kepada M. Hadiprabowo pada awal bulan September 1953.. Dalam suatu rapat GMDI yang diadakan di Gedung Proklamasi, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta tercetus keinginan untuk melakukan fusi, dan ketika keinginan itu disampaikan kepada kedua pimpinan organisasi yang lain ternyata mendapat sambutan positif.
Sebagai tindak lanjut, maka dilaksanakanlah beberapa pertemuan antara ketiga pimpinan organisasi mahasiswa tersebut. Sampai akhirnya tercapai kesepakatan pada pertemuan yang dilaksanakan di rumah dinas walikota Jakarta, Bapak Soediro, Jl. Taman Soeropati. Beberapa kesepakatan yang dicapai adalah : ( 1 ). Setuju untuk melakukan fusi, ( 2 ). Wadah organisasi hasil fusi berazaskan Marhaenisme, ( 3 ). Akan Melaksanakan kongres di Surabaya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah pertemuan.
Kongres pertama akhirnya terlaksana di Surabaya setelah mendapat restu dari Presiden RI, Ir. Soekarno pada tanggal 22 – 26 Maret 1954. pada kongres tersebut dibentuk dan ditetapkan sebuah organisasi yang bernama GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA (GMNI) dan tanggal pelaksanaan kongres pertama tersebut sekaligus diperingati sebagai hari kelahiran GMNI, yaitu tanggal 23 Maret 1954.
Azas dan Prinsip
GMNI berazaskan Marhaenisme, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam aktifitas dan usaha perjuangannya GMNI memiliki prinsip-prinsip perjuangan yang melekat dalam tubuh GMNI dan menjadi watak dasar perjuangan GMNI, yakni : GMNI berjuang untuk rakyat dan GMNI berjuang bersama rakyat.
Tujuan
GMNI lahir dari identitasnya yang hakiki sebagai “ORGANISASI KADER DAN ORGANISASI PERJUANGAN”. Sebagai organisasi kader GMNI bertujuan melakukan pendidikan terhadap anggotanya agar menjadi kader bangsa yang tanggap, tangguh, progresif, dan revolusioner. Sebagai organisasi perjuangan, GMNI senantiasa melakukan usaha bagi tercapainya masyarakat yang berkeadilan sosial, makmur, sejahtera, terhormat, dan bermartabat sesuai dengan cita-cita Proklamasi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Sejarah Singkat
Sebagaimana disebut di atas GMNI lahir sebagai hasil proses peleburan 3 (tiga) organisasi mahasiswa yang berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno, yaitu Gerakan Mahasiswa Marhaenis (Yogyakarta), Gerakan Mahasiswa Merdeka (Surabaya) dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (Jakarta).
Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa itu mulai tampak ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.
Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seazas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positif.
Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajakan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain :
1.           Setuju untuk melakukan fusi
2.           Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi bernama “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ” (GMNI).
3.           Azas organisasi adalah: MARHAENISME ajaran Bung Karno.
4.           Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di Surabaya, dalam jangka waktu enam bulan setelah pertemuan.
Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain:
1.           Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka :
-          Slamet Djajawidjaja
-          Slamet Raharjo
-          Heruman

2.                  Dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis :
-          Wahyu Widodo
-          Subagio Masrukin
-          Sri Sumantri Martosuwignjo
3.                  Dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia :
-          S. M. Hadiprabowo
-          Djawadi Hadipradoko
-          Sulomo
Hasil kesepakatan tersebut, akhirnya terwujud. Dengan direstui Presiden Sukarno, pada tanggal 22 Maret 1954, dilangsungkan KONGRES I GMNI di Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi GMNI (Dies Natalis) yang diperingati hingga sekarang. Adapun yang menjadi materi pokok dalam Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil kesepakatan antar tiga pimpinan organisasi yang ber-fusi, juga untuk menetapkan personalia pimpinan di tingkat pusat.
Sehubungan dengan banyak persoalan yang sebenarnya belum terselesaikan dalam forum Kongres I, maka dua tahun kemudian (1956), GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES II GMNI di Bandung, dengan pokok persoalan di seputar masalah konsolidasi internal organisasi. Sebagai hasil realisasi keputusan Kongres II ini, maka Organisasi cabang GMNI mulai tertata di beberapa kota.
Akibat dari perkembangan yang kian meningkat di sejumlah basis organisasi, tiga tahun setelah Kongres II, GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES III GMNI di Malang tahun 1959, yang dihadiri sejumlah Utusan cabang yang dipilih melalui Konperensi Cabang masing-masing. Berawal dari Kongres III ini, GMNI mulai meningkatkan kiprahnya, baik dalam lingkup dunia perguruan tinggi, maupun ditengah-tengah masyarakat.
Dalam kaitan dengan hasil Kongres III ini, masih pada tahun yang sama (1959) GMNI menyelenggarakan Konperensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, dan Presiden Sukarno telah berkenan ikut memberikan Pidato Sambutan yang kemudian dikenal dengan judul “Hilangkan Steriliteit Dalam Gerakan Mahasiswa !”.
Untuk lebih memantapkan dinamika kehidupan pergerakan GMNI, maka direncanakan pada tahun 1965 akan diselenggarakan Kongres V GMNI di Jakarta. Namun Kongres V tersebut gagal terlaksana karena gejolak politik nasional yang tidak menentu akibat peristiwa G30S/PKI. Kendati demikian, acara persiapannya sudah sempat direalisiir yakni Konperensi besar GMNI di Pontianak pada tahun 1965. Dalam Konferensi besar ini telah dihasilkan kerangka Program Perjuangan, serta Program Aksi bagi Pengabdian Masyarakat.
Dampak peristiwa G30S/PKI bagi GMNI sangat terasa sekali, sebab setelah peristiwa tersebut, GMNI dihadapkan pada cobaan yang cukup berat. Perpecahan dalam kubu Front Marhaenis ikut melanda GMNI, sehingga secara nasional GMNI jadi lumpuh sama sekali. Di tengah hantaman gelombang percaturan politik nasional yang menghempas keras, GMNI mencoba untuk bangkit kembali melakukan konsolidasi. Terlaksana KONGRES V GMNI di Salatiga tahun 1969 (yang seharusnya di Jakarta tetapi gagal dilaksanakan). Namun Kongres V ini tetap belum bisa menolong stagnasi organisasi yang begitu parah.
Namun demikian kondisi ini tampaknya telah membangkitkan kesadaran-kesadaran baru dikalangan warga GMNI, yakni kesadaran untuk tetap bergerak pada kekuatan diri sendiri, maka mulai 1969, thema “Independensi GMNI” kembali menguasai alam pikiran para aktivis GMNI khususnya yang berada di Jakarta dan Yogyakarta. Tuntutan Independensi ini mendapat reaksi keras, baik dari kalangan Pimpinan Pusat GMNI maupun dari PNI/Front Marhaenis. Tuntutan independensi ini sebenarnya merupakan upaya GMNI untuk kembali ke “Khittah” dan “Fitrah” nya yang sejati. Sebab sejak awal GMNI sudah independen. Tuntutan ini sesungguhnya sangat beralasan dan merupakan langkah antisipasi, sebab tidak lama kemudian terjadi restrukturisasi yang menyebabkan PNI/FM berfusi kedalam PDI.
Setelah gejolak politik reda, GMNI kembali memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun kembali organisasinya. Dilaksanakan KONGRES VI GMNI di Ragunan-Jakarta tahun 1976, dengan thema pokok: “Pengukuhan Independensi GMNI serta Konsolidasi Organisasi”. Hal lain yang patut dicatat dalam Kongres VI ini adalah penegasan kembali tentang Azas Marhaenisme yang tidak boleh dicabut oleh lembaga apapun juga, serta perubahan model kepemimpinan kearah kepemimpinan kolektif dalam bentuk lembaga Presidium.
Selain itu, Kongres VI mempunyai arti tersendiri bagi GMNI, sebab mulai saat itu telah terjadi regenerasi dalam keanggotaan GMNI, yang ditandai dengan munculnya sejumlah pimpinan basis dan cabang dari kalangan mahasiswa muda yang tidak terkait sama sekali dengan konflik internal PNI/FM di masa lalu.
Mengingat persoalan konsolidasi meliputi berbagai aspek, maka masalah yang sama dibahas pula dalam KONGRES VII GMNI di Medan tahun 1979. Dalam Kongres VII ini kembali ditegaskan bahwa: Azas organisasi tidak boleh diubah, Independensi tetap ditegakkan, dan konsolidasi organisasi harus seimbang dengan konsolidasi ideologi.
Titik cerah bagi GMNI yang mulai bersinar di tahun 1979 ternyata tidak berlangsung lama. Intervensi kekuatan di luar GMNI, yang memang menginginkan GMNI lemah, dengan berpadu bersama ‘interest pribadi’ segelintir oknum pimpinan GMNI, telah mengundang malapetaka terhadap organisasi mahasiswa ini.
Kongres VIII GMNI yang sedianya akan diselenggarakan di Jogjakarta mengalami kegagalan karena diprotes oleh sejumlah cabang (Jakarta, Medan, Malang, Manado, Bandung, dan lain-lain), karena tercium indikasi kecurangan untuk memenangkan aspirasi pihak luar dalam Kongres VIII itu. tetapi usaha filtrasi dan perlemahan GMNI tetap berlangsung sewaktu KONGRES VIII GMNI di Lembang-Bandung tahun 1982.
Hanya dengan pengawalan ketat dari aparat negara, Kongres VIII tersebut bisa berlangsung, dan dimenangkan oleh segelintir oknum pimpinan GMNI tadi, namun dampaknya bagi organisasi sangat besar sekali.
Presidium GMNI hasil Kongres VIII terpecah-belah, dan disusul perpecahan berangkai semua cabang. Program Kaderisasi, regenerasi akhirnya macet total.
KONGRES IX GMNI di Samarinda tahun 1985 gagal menampilkan wajah baru dalam struktur kepemimpinan GMNI, disamping kegagalan dalam proses pembaharuan pemikiran serta operasional program.
Perpecahan ini akhirnya menjalar ke berbagai struktur organisasi dan mencuat dalam KONGRES X GMNI di Salatiga tahun 1989, yang diwarnai kericuhan fisik. Dampak dari kegagalan regenerasi dan kaderisasi Kongres X akhirnya hanya menampilkan wajah lama dalam struktur kepemimpinan GMNI.
Dan yang lebih menyedihkan lagi, para oknum pimpinan GMNI di tingkat Pusat terjebak dengan kebiasaan saling “pecat-memecat”. Identitas sebagai organisasi perjuangan menjadi luntur, sebab yang lebih menonjol justru perilaku sebagai “birokrat GMNI”. untuk mempertahankan status quo, dan sekaligus untuk melestarikan budaya tadi, oknum-oknum pimpinan pusat mulai mengintrodusiir apa yang disebut “Komunitas Baru GMNI” yang ditetapkan melalui deklarasi Jayagiri. Inilah cobaan yang terberat dihadapi GMNI. Sebab organisasi ini tidak hanya terperangkap dalam konflik kepentingan perorangan yang bersifat sesaat, tetapi juga mulai mengalami erosi idealisme, serta kegersangan kreativitas dan inovasi.
Secara Nasional, kesadaran untuk memperbaiki arah perjuangan tampaknya belum muncul. Pada KONGRES XI GMNI di Malang tahun 1992, kejadian di Salatiga kembali terulang. Sementara suara-suara cabang yang menuntut otonomi semakin nyaring dan meluas.
Kondisi ini kemudian melahirkan format baru dalam tata hubungan antar kader pejuang pemikir-pemikir pejuang yakni: hubungan kejuangan yang bersifat personal-fungsional. Sebab hubungan formal-institusional tidak efektif lagi.
“Perlawanan” cabang-cabang kembali dilakukan di KONGRES XII GMNI di Denpasar Bali tahun 1995, tetapi keberhasilan hanya pada tingkatan materi program. Di mana kemudian dikenal dan dimunculkan kembali di AD/ART mengenai Azas perjuangan “Sosialis Religius – Progressif Revolusioner” yang membuat banyak pihak terkejut-kejut, tetapi ‘kekalahan’ terjadi pada pertempuran perebutan pimpinan nasional yang kembali di-warnai oleh intervesi ‘orang-orang lama’ GMNI. Isu money-politics sangat kental di forum Kongres XII ini.
Di saat cabang-cabang kembali mulai menata diri, perpecahan kembali melanda Presidium hasil Kongres XII Bali, saling boikot dan intrik menjadi makanan utama sehari-hari di sekretariat pusat GMNI Wisma Marinda. Pada saat itu cabang-cabang tidak ambil pusing dengan tetap bergerak menguatkan garis ideologi yang mulai kurang tersentuh. Dimulai dengan dialog dan pembongkaran wacana mengenai Marhaenisme di Yogyakarta dan kemudian dilanjutkan di Surabaya 14-17 Juli 1998. cabang-cabang semakin memantapkan hubungan dengan tidak menghiraukan perpecahan yang terjadi di tingkat pusat.
Ketika terjadi pergerakan massif mulai Mei 1998, cabang-cabang dapat ‘berbicara banyak’ di tingkat kota masing-masing, tetapi tidak begitu halnya dengan GMNI di tingkat nasional. Perubahan politik di tingkat nasional rupanya semakin ‘tidak menyadarkan pimpinan GMNI’. Perpecahan ini memuncak saat beberapa oknum pimpinan GMNI ikut mendaftarkan diri menjadi calon legislatif PDI Perjuangan. Cabang-cabang bereaksi keras dengan menarik dukungannya terhadap pimpinan nasional saat itu.
Kongres XIII GMNI yang sedianya dilaksanakan di Kupang-NTT mendapatkan protes keras dari cabang-cabang karena bagi sebagain cabang prosesnya tidak konstitusional dan penuh rekayasa; termasuk perilaku ‘saling membubarkan’ efek dari perpecahan Presidium. Akhirnya Kongres tersebut terselenggara dengan diboikot 19 cabang antara lain Medan, Bandung, Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Jember, Malang, Denpasar, Pontianak, dll.
Beberapa cabang yang menolak hasil kongres XIII di Kupang kemudian melaksanakan pertemuan-pertemuan intensif yang pada akhirnya melahirkan kesepakatan untuk melaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB) yang dilaksanakan di Semarang pada tahun 2001. kongres ini melahirkan struktur pimpinan nasional yang berbeda dengan struktur kepemimpinan yang dilahirkan di kongres XIII di Kupang, dan sejak saat itu, terjadi dualisme kepemimpinan nasional GMNI. Kondisi ini terus berlanjut, pada tahun 2002, presidium hasil kongres Kupang melaksanakan kongresnya di Manado, dan Presidium hasil kongres luar Biasa Semarang juga melaksanakan kongresnya di Medan pada tahun 2003.
Kondisi ini membuat GMNI semakin tidak produktif, dengan semangat persatuan, akhirnya dilaksanakanlah kongres bersama yang diberi nama kongres persatuan yang dilaksanakan di Sungai Liat, dengan panitian DPC pangkal Pinang pada tahun 2006. Kongres ini berhasil menyatukan kembali GMNI secara nasional dan berhasil membentuk satu struktur kepemimpinan pada tingkat nasional.

Jumat, 10 Agustus 2012

Bung Karno


 Kalau bangsa bangsa yang hidup di padang pasir yang kering dan
tandus bisa memecahkan persoalan ekonominya kenapa kita tidak?
Kenapa tidak? Coba pikirkan !
1. Kekayaan alam kita yang sudah digali dan yang belum digali, adalah
melimpah-limpah.
2. Tenaga kerjapun melimpah-limpah, di mana kita berjiwa 100 juta
manusia.
3. Rakyat indonesia sangat rajin, dan memiliki ketrampilan yang sangat
besar, Ini diakui oleh semua orang di luar negeri.
4. Rakyat memiliki jiwa Gotong-royong, dan ini dapat dipakai sebagai
dasar untuk mengumpulkan Funds and forces.
5. Ambisi daya cipta Bangsa Indonesia sangat tinggi di bidang politik
tinggi, di bidang sosial tinggi, di bidang kebudayaan tinggi, tentunya
juga di bidang ekonomi dean perdagangan.
6. Tradisi Bangsa lndonesia bukan tradisi, "tempe". Kita di zaman
purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara,
pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau
Afrika atau Tiongkok.
[Pidato HUT Proklamasi, 1963]