
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GMNI adalah organisasi
kemahasiswaan yang merupakan fusi dari tiga organisasi mahasiswa yang memiliki
kesamaan azas yaitu Marhaenisme. Ketiga organisasi tersebut adalah : Gerakan
Mahasiswa Marhaenis (berpusat di Yogyakarta), Gerakan Mahasiswa Merdeka
(berpusat di Surabaya), dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (berpusat di
Jakarta). Gagasan untuk melakukan fusi tersebut muncul pada saat Gerakan
Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian dewan pengurus dari
Drs. Sjarif kepada M. Hadiprabowo pada awal bulan September 1953..
Dalam suatu rapat GMDI yang diadakan di Gedung Proklamasi, Jl. Pegangsaan
Timur 56 Jakarta tercetus keinginan untuk melakukan fusi, dan ketika keinginan
itu disampaikan kepada kedua pimpinan organisasi yang lain ternyata mendapat
sambutan positif.
Sebagai tindak lanjut, maka dilaksanakanlah beberapa pertemuan antara
ketiga pimpinan organisasi mahasiswa tersebut. Sampai akhirnya tercapai
kesepakatan pada pertemuan yang dilaksanakan di rumah dinas walikota Jakarta,
Bapak Soediro, Jl. Taman Soeropati. Beberapa kesepakatan yang dicapai adalah :
( 1 ). Setuju untuk melakukan fusi, ( 2 ). Wadah organisasi hasil fusi
berazaskan Marhaenisme, ( 3 ). Akan Melaksanakan kongres di Surabaya dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan setelah pertemuan.
Kongres pertama akhirnya terlaksana di Surabaya setelah mendapat restu dari
Presiden RI, Ir. Soekarno pada tanggal 22 – 26 Maret 1954. pada kongres
tersebut dibentuk dan ditetapkan sebuah organisasi yang bernama GERAKAN
MAHASISWA NASIONAL INDONESIA (GMNI) dan tanggal pelaksanaan kongres pertama
tersebut sekaligus diperingati sebagai hari kelahiran GMNI, yaitu tanggal 23
Maret 1954.
Azas dan Prinsip
GMNI berazaskan Marhaenisme, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam aktifitas dan usaha perjuangannya GMNI memiliki
prinsip-prinsip perjuangan yang melekat dalam tubuh GMNI dan menjadi watak
dasar perjuangan GMNI, yakni : GMNI berjuang untuk rakyat dan GMNI berjuang
bersama rakyat.
Tujuan
GMNI lahir dari identitasnya yang hakiki sebagai “ORGANISASI KADER DAN
ORGANISASI PERJUANGAN”. Sebagai organisasi kader GMNI bertujuan melakukan
pendidikan terhadap anggotanya agar menjadi kader bangsa yang tanggap, tangguh,
progresif, dan revolusioner. Sebagai organisasi perjuangan, GMNI senantiasa
melakukan usaha bagi tercapainya masyarakat yang berkeadilan sosial, makmur,
sejahtera, terhormat, dan bermartabat sesuai dengan cita-cita Proklamasi
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Sejarah Singkat
Sebagaimana disebut di atas GMNI lahir sebagai hasil proses peleburan 3
(tiga) organisasi mahasiswa yang berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno,
yaitu Gerakan Mahasiswa Marhaenis (Yogyakarta), Gerakan Mahasiswa Merdeka
(Surabaya) dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (Jakarta).
Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa itu mulai tampak ketika pada
awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI)
melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin
Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.
Dalam satu rapat
pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur
56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang
seazas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan
kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positif.
Setelah melalui
serangkaian pertemuan penjajakan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan
Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta
Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan
antara lain :
1.
Setuju untuk
melakukan fusi
2.
Wadah bersama hasil
peleburan tiga organisasi bernama “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ”
(GMNI).
3.
Azas organisasi
adalah: MARHAENISME ajaran Bung Karno.
4.
Sepakat mengadakan
Kongres I GMNI di Surabaya, dalam jangka waktu enam bulan setelah pertemuan.
Para pimpinan tiga
organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain:
1.
Dari Gerakan
Mahasiswa Merdeka :
-
Slamet Djajawidjaja
-
Slamet Raharjo
-
Heruman
2.
Dari Gerakan
Mahasiswa Marhaenis :
-
Wahyu Widodo
-
Subagio Masrukin
-
Sri Sumantri
Martosuwignjo
3.
Dari Gerakan
Mahasiswa Demokrat Indonesia :
-
S. M. Hadiprabowo
-
Djawadi Hadipradoko
-
Sulomo
Hasil kesepakatan tersebut, akhirnya terwujud. Dengan
direstui Presiden Sukarno, pada tanggal 22 Maret 1954, dilangsungkan KONGRES I
GMNI di Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi GMNI (Dies
Natalis) yang diperingati hingga sekarang. Adapun yang menjadi materi pokok dalam
Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil kesepakatan antar tiga pimpinan
organisasi yang ber-fusi, juga untuk menetapkan personalia pimpinan di tingkat
pusat.
Sehubungan dengan
banyak persoalan yang sebenarnya belum terselesaikan dalam forum Kongres I,
maka dua tahun kemudian (1956), GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES II GMNI
di Bandung, dengan pokok persoalan di seputar masalah konsolidasi internal
organisasi. Sebagai hasil realisasi keputusan Kongres II ini, maka Organisasi
cabang GMNI mulai tertata di beberapa kota.
Akibat dari
perkembangan yang kian meningkat di sejumlah basis organisasi, tiga tahun
setelah Kongres II, GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES III GMNI di Malang
tahun 1959, yang dihadiri sejumlah Utusan cabang yang dipilih melalui Konperensi
Cabang masing-masing. Berawal dari Kongres III ini, GMNI mulai meningkatkan
kiprahnya, baik dalam lingkup dunia perguruan tinggi, maupun ditengah-tengah
masyarakat.
Dalam kaitan dengan
hasil Kongres III ini, masih pada tahun yang sama (1959) GMNI menyelenggarakan
Konperensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, dan Presiden Sukarno telah
berkenan ikut memberikan Pidato Sambutan yang kemudian dikenal dengan judul
“Hilangkan Steriliteit Dalam Gerakan Mahasiswa !”.
Untuk lebih
memantapkan dinamika kehidupan pergerakan GMNI, maka direncanakan pada tahun
1965 akan diselenggarakan Kongres V GMNI di Jakarta. Namun Kongres V tersebut
gagal terlaksana karena gejolak politik nasional yang tidak menentu akibat
peristiwa G30S/PKI. Kendati demikian, acara persiapannya sudah sempat
direalisiir yakni Konperensi besar GMNI di Pontianak pada tahun 1965. Dalam
Konferensi besar ini telah dihasilkan kerangka Program Perjuangan, serta
Program Aksi bagi Pengabdian Masyarakat.
Dampak peristiwa
G30S/PKI bagi GMNI sangat terasa sekali, sebab setelah peristiwa tersebut, GMNI
dihadapkan pada cobaan yang cukup berat. Perpecahan dalam kubu Front Marhaenis
ikut melanda GMNI, sehingga secara nasional GMNI jadi lumpuh sama sekali. Di
tengah hantaman gelombang percaturan politik nasional yang menghempas keras,
GMNI mencoba untuk bangkit kembali melakukan konsolidasi. Terlaksana KONGRES V
GMNI di Salatiga tahun 1969 (yang seharusnya di Jakarta tetapi gagal
dilaksanakan). Namun Kongres V ini tetap belum bisa menolong stagnasi
organisasi yang begitu parah.
Namun demikian
kondisi ini tampaknya telah membangkitkan kesadaran-kesadaran baru dikalangan
warga GMNI, yakni kesadaran untuk tetap bergerak pada kekuatan diri sendiri,
maka mulai 1969, thema “Independensi GMNI” kembali menguasai alam pikiran para
aktivis GMNI khususnya yang berada di Jakarta dan Yogyakarta. Tuntutan
Independensi ini mendapat reaksi keras, baik dari kalangan Pimpinan Pusat GMNI
maupun dari PNI/Front Marhaenis. Tuntutan independensi ini sebenarnya merupakan
upaya GMNI untuk kembali ke “Khittah” dan “Fitrah” nya yang sejati. Sebab sejak
awal GMNI sudah independen. Tuntutan ini sesungguhnya sangat beralasan dan
merupakan langkah antisipasi, sebab tidak lama kemudian terjadi restrukturisasi
yang menyebabkan PNI/FM berfusi kedalam PDI.
Setelah gejolak
politik reda, GMNI kembali memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun
kembali organisasinya. Dilaksanakan KONGRES VI GMNI di Ragunan-Jakarta tahun
1976, dengan thema pokok: “Pengukuhan Independensi GMNI serta Konsolidasi
Organisasi”. Hal lain yang patut dicatat dalam Kongres VI ini adalah penegasan
kembali tentang Azas Marhaenisme yang tidak boleh dicabut oleh lembaga apapun
juga, serta perubahan model kepemimpinan kearah kepemimpinan kolektif dalam
bentuk lembaga Presidium.
Selain itu, Kongres
VI mempunyai arti tersendiri bagi GMNI, sebab mulai saat itu telah terjadi
regenerasi dalam keanggotaan GMNI, yang ditandai dengan munculnya sejumlah
pimpinan basis dan cabang dari kalangan mahasiswa muda yang tidak terkait sama
sekali dengan konflik internal PNI/FM di masa lalu.
Mengingat persoalan
konsolidasi meliputi berbagai aspek, maka masalah yang sama dibahas pula dalam
KONGRES VII GMNI di Medan tahun 1979. Dalam Kongres VII ini kembali ditegaskan
bahwa: Azas organisasi tidak boleh diubah, Independensi tetap ditegakkan, dan
konsolidasi organisasi harus seimbang dengan konsolidasi ideologi.
Titik cerah bagi GMNI
yang mulai bersinar di tahun 1979 ternyata tidak berlangsung lama. Intervensi
kekuatan di luar GMNI, yang memang menginginkan GMNI lemah, dengan berpadu
bersama ‘interest pribadi’ segelintir oknum pimpinan GMNI, telah mengundang
malapetaka terhadap organisasi mahasiswa ini.
Kongres VIII GMNI
yang sedianya akan diselenggarakan di Jogjakarta mengalami kegagalan karena
diprotes oleh sejumlah cabang (Jakarta, Medan, Malang, Manado, Bandung, dan
lain-lain), karena tercium indikasi kecurangan untuk memenangkan aspirasi pihak
luar dalam Kongres VIII itu. tetapi usaha filtrasi dan perlemahan GMNI tetap
berlangsung sewaktu KONGRES VIII GMNI di Lembang-Bandung tahun 1982.
Hanya dengan
pengawalan ketat dari aparat negara, Kongres VIII tersebut bisa berlangsung,
dan dimenangkan oleh segelintir oknum pimpinan GMNI tadi, namun dampaknya bagi
organisasi sangat besar sekali.
Presidium GMNI hasil Kongres
VIII terpecah-belah, dan disusul perpecahan berangkai semua cabang. Program
Kaderisasi, regenerasi akhirnya macet total.
KONGRES IX GMNI di
Samarinda tahun 1985 gagal menampilkan wajah baru dalam struktur kepemimpinan
GMNI, disamping kegagalan dalam proses pembaharuan pemikiran serta operasional
program.
Perpecahan ini
akhirnya menjalar ke berbagai struktur organisasi dan mencuat dalam KONGRES X
GMNI di Salatiga tahun 1989, yang diwarnai kericuhan fisik. Dampak dari
kegagalan regenerasi dan kaderisasi Kongres X akhirnya hanya menampilkan wajah
lama dalam struktur kepemimpinan GMNI.
Dan yang lebih
menyedihkan lagi, para oknum pimpinan GMNI di tingkat Pusat terjebak dengan
kebiasaan saling “pecat-memecat”. Identitas sebagai organisasi perjuangan
menjadi luntur, sebab yang lebih menonjol justru perilaku sebagai “birokrat
GMNI”. untuk mempertahankan status quo, dan sekaligus untuk melestarikan budaya
tadi, oknum-oknum pimpinan pusat mulai mengintrodusiir apa yang disebut
“Komunitas Baru GMNI” yang ditetapkan melalui deklarasi Jayagiri. Inilah cobaan
yang terberat dihadapi GMNI. Sebab organisasi ini tidak hanya terperangkap
dalam konflik kepentingan perorangan yang bersifat sesaat, tetapi juga mulai
mengalami erosi idealisme, serta kegersangan kreativitas dan inovasi.
Secara Nasional,
kesadaran untuk memperbaiki arah perjuangan tampaknya belum muncul. Pada
KONGRES XI GMNI di Malang tahun 1992, kejadian di Salatiga kembali terulang.
Sementara suara-suara cabang yang menuntut otonomi semakin nyaring dan meluas.
Kondisi ini kemudian
melahirkan format baru dalam tata hubungan antar kader pejuang pemikir-pemikir
pejuang yakni: hubungan kejuangan yang bersifat personal-fungsional. Sebab
hubungan formal-institusional tidak efektif lagi.
“Perlawanan”
cabang-cabang kembali dilakukan di KONGRES XII GMNI di Denpasar Bali tahun
1995, tetapi keberhasilan hanya pada tingkatan materi program. Di mana kemudian
dikenal dan dimunculkan kembali di AD/ART mengenai Azas perjuangan “Sosialis
Religius – Progressif Revolusioner” yang membuat banyak pihak terkejut-kejut,
tetapi ‘kekalahan’ terjadi pada pertempuran perebutan pimpinan nasional yang
kembali di-warnai oleh intervesi ‘orang-orang lama’ GMNI. Isu money-politics sangat
kental di forum Kongres XII ini.
Di saat cabang-cabang
kembali mulai menata diri, perpecahan kembali melanda Presidium hasil Kongres
XII Bali, saling boikot dan intrik menjadi makanan utama sehari-hari di
sekretariat pusat GMNI Wisma Marinda. Pada saat itu cabang-cabang tidak ambil
pusing dengan tetap bergerak menguatkan garis ideologi yang mulai kurang
tersentuh. Dimulai dengan dialog dan pembongkaran wacana mengenai Marhaenisme
di Yogyakarta dan kemudian dilanjutkan di Surabaya 14-17 Juli 1998. cabang-cabang
semakin memantapkan hubungan dengan tidak menghiraukan perpecahan yang terjadi
di tingkat pusat.
Ketika terjadi
pergerakan massif mulai Mei 1998, cabang-cabang dapat ‘berbicara banyak’ di
tingkat kota masing-masing, tetapi tidak begitu halnya dengan GMNI di tingkat
nasional. Perubahan politik di tingkat nasional rupanya semakin ‘tidak
menyadarkan pimpinan GMNI’. Perpecahan ini memuncak saat beberapa oknum
pimpinan GMNI ikut mendaftarkan diri menjadi calon legislatif PDI Perjuangan.
Cabang-cabang bereaksi keras dengan menarik dukungannya terhadap pimpinan
nasional saat itu.
Kongres XIII GMNI
yang sedianya dilaksanakan di Kupang-NTT mendapatkan protes keras dari
cabang-cabang karena bagi sebagain cabang prosesnya tidak konstitusional dan
penuh rekayasa; termasuk perilaku ‘saling membubarkan’ efek dari perpecahan
Presidium. Akhirnya Kongres tersebut terselenggara dengan diboikot 19 cabang
antara lain Medan, Bandung, Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Jember,
Malang, Denpasar, Pontianak, dll.
Beberapa cabang yang
menolak hasil kongres XIII di Kupang kemudian melaksanakan pertemuan-pertemuan
intensif yang pada akhirnya melahirkan kesepakatan untuk melaksanakan Kongres
Luar Biasa (KLB) yang dilaksanakan di Semarang pada tahun 2001. kongres ini
melahirkan struktur pimpinan nasional yang berbeda dengan struktur kepemimpinan
yang dilahirkan di kongres XIII di Kupang, dan sejak saat itu, terjadi dualisme
kepemimpinan nasional GMNI. Kondisi ini terus berlanjut, pada tahun 2002,
presidium hasil kongres Kupang melaksanakan kongresnya di Manado, dan Presidium
hasil kongres luar Biasa Semarang juga melaksanakan kongresnya di Medan pada
tahun 2003.
Kondisi ini membuat
GMNI semakin tidak produktif, dengan semangat persatuan, akhirnya
dilaksanakanlah kongres bersama yang diberi nama kongres persatuan yang
dilaksanakan di Sungai Liat, dengan panitian DPC pangkal Pinang pada tahun
2006. Kongres ini berhasil menyatukan kembali GMNI secara nasional dan berhasil
membentuk satu struktur kepemimpinan pada tingkat nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar