Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
adalah sebuah organisasi yang bercita-cita memanifestasikan sosialisme
yang bersumber dari ide-ide pemikiran Sukarno. Sosialisme tersebut
dikenal dengan nama marhaenisme yang mempunyai tiga kerangka pemikiran
yaitu : sosio nasionalisme, sosio demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Setelah hampir satu abad kelahiran marhaenisme, sejarah
membuktikan bahwa marhaenisme ternyata masih mampu menjadi satu ideologi
yang survive, walaupun tiga dekade sempat diberangus rejim tiran
militeristik. Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab GMNI sebagai
salah satu kekuatan yang masih meyakini dan memegang teguh cita-cita
marhaenisme, untuk kembali melanjutkan jalannya revolusi demi
pemanifestasian nilai-nilai marhaenisme tersebut dalam sendi-sendi
kehidupan rakyat.
Untuk itu pula, maka GMNI merasa perlu
menegaskan dan menajamkan kembali pemikiran Sukarno dalam sebuah
MANIFESTO yang akan menjadi paradigma baru dalam gerakan di tubuh GMNI.
Penegasan-penegasan dan penajaman-penajaman tersebut antara lain :
1. Penajaman tentang "teori budi nurani"
Budi
nurani adalah inti dasar pemikiran (term ad quo) Sukarno tentang
marhaenisme. Pemikiran Sukarno ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa
kehidupan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan zonder
exploitation de l’homme par l’homme adalah sebuah kehidupan ideal yang
dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita kehidupan ideal itu
pada dasarnya adalah inti dari hakekat hidup manusia karena bersumber
dari budi nurani manusia.
Pijakan pemikiran Sukarno ini
didasarkan pada filsafat idealisme, seperti teori idealisme absolut
George Fredrich Hegel. Sebab untuk menganalisa teori budi nurani ini,
Sukarno memakai hal-hal yang bersifat irrasional (metafisik) dalam
analisa berpikirnya, karena menyangkut hakekat, keyakinan dan
kepercayaan manusia akan sesuatu hal yang tidak bisa dirasakan secara
inderawiah (transenden).
Dengan pendekatan filsafat idealisme
tersebut, tesis Ludwig Feurbach tentang "kritik agama" yang
disempurnakan Karl Marx, secara otomatis menjadi gugur dalam pemikiran
Sukarno. Sebab Sukarno ternyata lebih sepakat dengan pemikiran Hegel
yang tetap percaya bahwa hakekat hidup manusia yang telah tertuang dalam
nilai-nilai agama adalah murni dari roh semesta alam (bahasa Hegel
menyebut Tuhan), jadi bukan semata-mata hasil rekayasa manusia
sebagaimana pemikiran Feurbach. Apalagi Sukarno tidak pernah mengkritik
nilai-nilai agama. Sebaliknya Sukarno justru mengharapkannya sebagai
alat nation n' caracter building. Yang dikritik Sukarno hanyalah
budaya-budaya feodalisme yang dianggap telah mengotori dan membiaskan
nilai-nilai agama. Oleh karena itu Sukarno selalu menyerukan agar dalam
memanifestasikan agama, yang diambil adalah apinya, bukan abunya.
Dari
beberapa pokok analisa di atas, terbukti bahwa stigma-stigma yang
selama ini menganggap marhaenisme identik dengan atheisme adalah tidak
benar, sebaliknya, marhaenisme adalah sebuah nilai yang sarat akan cinta
kasih, persaudaraan, kekeluargaan, kegotong-royongan dan kemanusiaan
sebagaimana yang tertuang dalam ajaran agama selama ini. Oleh karena itu
pula, kenapa kemudian GMNI tidak pernah menolak jika sosialisme
Indonesia is sosialis religius.
2. Penajaman tentang "teori pauverishing"
Pauverishing
oleh Sukarno diartikan sebagai satu proses pemiskinan oleh sistem.
Teori ini bertitik tolak dari realitas sosial atas kemiskinan dan
ketertindasan yang dialami rakyat Indonesia. Dan "Pak Marhaen" adalah
seorang petani miskin yang dijadikan tesis Sukarno dalam menganalisa
kemiskinan dan ketertindasan tersebut.
Metode berpikir Sukarno
menggunakan pendekatan filsafat materialisme seperti Marx. Dengan pisau
analisis materialisme sejarah, Sukarno menjelaskan bahwa para petani
yang memiliki tanah, cangkul serta alat produksi lainnya, dan mampu
berproduksi secara mandiri, namun tetap terlilit kemelaratan adalah
akibat dari sistem kapitalisme dan feodalisme yang berkembang di
Indonesia.
Realitas sosial saat itu memang menunjukkan bahwa
tanah-tanah pertanian banyak dikuasai oleh para tuan-tanah (landlord)
yang bergerak di bidang perkebunan (onderneming) dengan hak onderneming
dan erpacht yang dilindungi Agrarische Wet produk imperium Belanda.
Sehingga banyak rakyat Indonesia yang tidak kebagian lahan garapan dan
hanya mampu menjadi petani kecil dan buruh tani. Landlords tersebut
sebagian besar adalah orang-orang Belanda dan kaum-kaum priyayi
Indonesia.
Analisa Sukarno juga menyatakan bahwa sifat-sifat
tidak percaya diri (minder), pasrah, dan nrimo, adalah budaya-budaya
feodalisme yang membuat para petani tidak memiliki kesadaran untuk
bangkit dari ketertindasannya. Berangkat dari pemikiran di atas, maka
sudah jelas bahwa musuh marhaenisme adalah tesis kapitalisme dan
feodalisme.
3. Penegasan "teori gotong royong" dan "revolusi"
Gotong
royong adalah cara perjuangan kaum marhaenis dalam mewujudkan
sosialisme Indonesia. Teori ini memang bertolak belakang dengan teori
Marx. Jika Marx memilih perjuangan kelas (klassentrij), Sukarno memilih
gotong royong. Dasar pemikiran Marx memilih perjuangan kelas, selain
atas dasar runtutan teorinya tentang keterasingan (alienasi), nilai
lebih (meewaarde) dan teori perkembangan masyarakat (verelendung), juga
didasarkan atas teori kontradiksi modal dan kerja sebagai sebuah konflik
yang tak terdamaikan. Sehingga Marx berpikiran bahwa satu-satunya jalan
menyelesaikan konflik adalah klassentrij.
Sementara dasar
pemikiran Sukarno memilih gotong royong adalah atas runtutan teorinya
tentang "budi nurani". Dengan budi nurani yang dimiliki, semua manusia
pada hakekatnya menginginkan kesempurnaan dan tidak ingin menindas dan
tertindas. Oleh karena itu Sukarno tidak menggunakan perjuangan kelas,
tetapi perjuangan gotong royong, dimana semua kelas sosial harus bersatu
untuk bersama-sama menuju kesejahteraan dan kemakmuran tanpa
penghisapan.
Gotong royong menuntut kesadaran dari seluruh
manusia Indonesia. Untuk itu butuh satu revolusi yang bersifat merubah
pemikiran, merubah pandangan hidup, merubah sikap, merubah moral-etika,
merubah kebiasaan, merubah sosial-ekonomi-politik-budaya Indonesia, dan
merubah seluruh aspek kehidupan rakyat Indonesia, yang kesemuanya
mempunyai satu tujuan yaitu mengembalikan manusia Indonesia kepada budi
nuraninya. Di atas budi nurani itulah bangsa Indonesia menjalankan hidup
kebangsaannya.
Sifat revolusi Indonesia adalah pantharei
seperti yang dikutip Sukarno dari Heraclitus. Sifat revolusi yang tidak
akan pernah mampu terprediksi oleh waktu. Sifat revolusi yang tidak
mengenal titik, melainkan akan terus mengalir dan berjalan mengikuti
perkembangan jaman. Biar sejarahlah yang nanti akan menguji dan
menilainya.
4. Penegasan tentang sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa
Sosio
nasionalisme, sosio demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan
bentuk ungkapan istilah lain dari cita-cita marhaenisme.
Sosio-nasionalisme adalah satu asas kehidupan rakyat Indonesia yang
berdasarkan nasionalisme Indonesia. Pemikiran Sukarno tentang
nasionalisme Indonesia, harus diakui memang banyak diinspirasi beberapa
tokoh dunia seperti Ernest Renan, Otto Bauer (Austromarxis) dan Gandhi.
Misalnya tentang salah satu pandangan Sukarno yang sepaham dengan
pemikiran Otto Bauer, bahwa munculnya sebuah bangsa pada dasarnya bukan
karena adanya kesamaan ras, bahasa, suku, ataupun agama, melainkan
karena semata-mata hanya karena adanya kesamaan sejarah (riwayat). Oleh
karena itulah, kenapa kemudian Sukarno menginginkan nasionalisme
Indonesia dapat tumbuh dan berkembang melalui kesadaran sejarah atas
penindasan dan penghisapan yang melanda kehidupan rakyat Indonesia.
Sukarno
juga sepemahaman dengan Gandhi bahwa nasionalisme juga harus dilandasi
oleh rasa cinta terhadap manusia dan kemanusiaan tanpa membedakan suku,
ras maupun agama, sehingga nasionalisme Indonesia tidak akan pernah
bersifat chauvis, melainkan humanis.
Itulah nasionalisme
Indonesia, satu nasionalisme yang teruji dan dibesarkan oleh sejarah,
yang cinta kepada manusia dan kemanusiaan, yang zonder exploitation de
lhomme par lhomme, zonder exploitation de nation par nation, dan
bersifat melindungi serta menyelamatkan kehidupan seluruh rakyat
Indonesia.
Sosio demokrasi adalah satu asas kehidupan rakyat
yang berdemokrasi gotong royong, yaitu satu demokrasi yang bersumber
dari kepribadian rakyat Indonesia. Jadi bukan demokrasi jegal-jegalan
(bahasa Sukarno), dan juga bukan demokrasi mayoritas menindas minoritas,
melainkan demokrasi yang memberikan keselamatan kepada seluruh rakyat
Indonesia. Sosio demokrasi oleh Sukarno diartikan pula sebagai demokrasi
politik dan demokrasi ekonomi ala Indonesia.
Dan Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah pondasi dari dua asas di atas (sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi), sebagai unsur spiritualitas guna membimbing kedua
sosio tersebut menuju hakekat dan budi nurani manusia Indonesia.
Dari
pokok-pokok pikiran tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa
mengandung arti yang sama dengan Pancasila maupun cita-cita bangsa yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Sehingga perdebatan tentang
Marhaenisme is Pancasila ataukah Pancasila is Marhaenisme tidak perlu
diperdebatkan lagi.
5. Penegasan tentang tantangan dan musuh GMNI
Infiltrasi Budaya Kapitalis terhadap Moralitas Bangsa
Tantangan
terberat marhaenisme adalah budaya bangsa yang telah tercemar
budaya-budaya kapitalis (hedonis, konsumeris, pragmatis, individualis
dan westernis). Pola kehidupan kapitalis tersebut merupakan penghalang
pokok terwujudnya sosialisme Indonesia. Dan kita ketahui, kapitalisme
adalah sistem yang mengutamakan sifat keserakahan, ketamakan dan sifat
egois manusia yang mengingkari hakekat kemanusiaannya. Padahal
masyarakat marhaenisme menginginkan terciptanya satu susunan masyarakat
sosialisme Indonesia yang kontra-kapitalis, yaitu gotong royong, tolong
menolong, tenggang rasa dan bentuk-bentuk ideal manusia lainnya.
Disfungsionalisasi Peran Agama
Nilai-nilai
agama di Indonesia masih tercemari budaya-budaya feodalisme dan belum
bisa dibersihkan dari kepentingan politik golongan. Nilai-nilai
kebenaran, kebaikan dan kebajikan yang menjadi nafas dari agama itu
sendiri, nyaris hilang tergantikan oleh perasaan-perasaan kemunafikan,
keserakahan dan egoisme manusia. Simbolisasi pertarungan elite dengan
justifikasi agama, adalah salah satu contoh ironis bagaimana agama telah
menjadi alat politik dalam perebutan kekuasaan elite. Feodalisme para
ulama dan kyai juga akan menjadi refleksi dan proyeksi tersendiri bagi
kader GMNI dalam mengkritisi peran agama agar kembali efektif, karena
memang nilai-nilai agama adalah sebuah alat perjuangan yang signifikan
dalam upaya nation and caracter building rakyat Indonesia.
Neo Kapitalisme dan Neo Imperialisme
Realitas
sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa kapitalisme telah kembali
menghisap kehidupan rakyat Indonesia. Memang penghisapan itu sudah tidak
dilakukan secara fisik (pendudukan) lagi, namun dengan cara
penggelontoran barang, modal dan tenaga kerja asing ke dalam negeri.
Bentuk-bentuk penghisapan tersebut antara lain :
F
Ketergantungan akan modal dan tanggungan hutang luar negeri sebesar US$
140 milyar akibat kebijakan pemerintah selama Orde Baru yang tidak mau
menerapkan ekonomi berdikari;
F Ketergantungan akan teknologi dan ilmu pengetahuan asing akibat sistem pendidikan yang kooptatif dan represif;
F
Aset-aset sumber daya alam yang menyangkut khalayak hidup rakyat banyak
(pertambangan, kehutanan, perkebunan dll) dikuasai kaum kapitalis asing
dan pribumi akibat kebijakan penanaman modal asing dan dalam negeri;
F
Usaha-usaha ekonomi yang menyangkut khalayak hidup rakyat banyak
(listrik, air, semen, dll) dikuasai oleh kaum kapitalis asing dan
pribumi akibat kebijakan privatisasi BUMN;
F Tingginya
disparitas (kesenjangan) sosial dan terbentuknya segelintir kaum
kapitalis pribumi sebagai partner kaum kapitalis asing yang menindas
kelas marhaen sebagai kelas mayoritas;
F Budaya konsumeris,
hedonis, pragmatis dan westernis yang menjangkiti kehidupan rakyat
Indonesia akibat kampanye dan propaganda negara-negara kapitalis
bekerjasama dengan pemerintah Indonesia melalui media-media
globalisasi.
Terjadinya penghisapan-penghisapan tersebut di atas
diakibatkan oleh korupnya pemerintah Indonesia karena telah rela
menjadi antek borjuis kapitalis negara maju hanya demi kepentingan
pragmatisnya. Akibatnya pemerintah Indonesia menjadi tidak berdaulat di
bidang politik, tidak berdikari di bidang ekonomi dan tidak
berkepribadian di bidang kebudayaan. Rakyat Indonesia menjadi kuli di
negaranya sendiri.
Selama menjadi antek kapitalis, pemerintah
Indonesia (khususnya Orba) ternyata masih mencoba mengaburkan
bentuk-bentuk penindasan yang dilakukannya dengan cara mengikuti konsep
"negara kemakmuran" yang dikembangkan Amerika Serikat sejak pemerintahan
Franklin D. Roosevelt (1933). Beberapa pengaburan itu antara lain :
F
Memberikan subsidi BBM dan 9 bahan pokok agar terjangkau daya beli
rakyat. Namun di sisi lain pemerintah mengkorupsi hutang luar negeri dan
sebagian lagi diberikan kepada kroni-kroninya (kapitalis pribumi)
melalui kolusi dan nepotisme dan selalu menjadi kredit macet.
F
Memajukan pembangunan-pembangunan fisik di daerah-daerah. Namun sebagai
kompensasinya, pemerintah "menjual" sumber daya alam Indonesia untuk
dieksploitasi kapitalis asing dan pribumi melalui kebijakan investasi
modal.
F Memberikan legitimasi hubungan hukum antara buruh dan
majikan melalui lembaga arbitrase (bipartit dan tripartit); pelembagaan
penyelesaian perselesihan perburuhan melalui P4D dan P4P; penetapan UMR;
pemberian tunjangan sosial; pemberian cuti, penetapan peraturan
jamsostek dan asuransi. Namun disisi lain pemerintah bertindak
kontradiktif dengan melarang buruh mogok, melarang buruh berserikat
(penunggalan wadah FSPSI), mensahkan PHK, tidak memberikan wewenang
untuk ikut menentukan upah, dan lain-lain.
F Membentuk
wadah-wadah koperasi pertanian; mengefektifkan penyuluhan pertanian;
pemberian dana KUT untuk modal petani; mengadakan irigasi, dll. Namun di
sisi lain, pemerintah membiarkan harga biaya produksi pertanian
dipermainkan dan dimonopoli kelompok kapitalis. Pemerintah juga
membiarkan tanah-tanah petani digusur dan digantikan HGU dan HGB kaum
kapitalis.
F Pemberian besiswa untuk membantu keluarga-keluarga
yang tidak mampu agar mendapat pendidikan yang layak. Namun di sisi
lain, pemerintah sengaja membuat sistem pendidikan yang kooptatif dan
represif sehingga berimplikasi tumpulnya daya kritis dan inovasi
generasi muda, sehingga perkembangan IPTEK dalam negeri stagnan dan
tetap tergantung pada negara maju.
6. Penegasan tentang asas perjuangan dan sikap GMNI terhadap kekuasaan
Untuk
memanifestasikan cita-cita marhaenisme, maka GMNI membutuhkan satu asas
perjuangan. Asas perjuangan itu masih tetap memakai kerangka pemikiran
Sukarno yaitu : non-kooperatif, machtvorming dan massa aksi.
Non
kooperatif, dilakukan dengan cara mempengaruhi kebijakan melalui
agitasi dan propaganda terhadap kekuasaan (political will) dari tingkat
pusat sampai daerah agar mau mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
mencerminkan nilai dan visi marhaenisme. Syarat dari cara perjuangan ini
adalah dengan menguatkan nilai bargain position GMNI terhadap
kekuasaan. Salah satu caranya adalah dimunculkannya konsep-konsep dan
ide-ide pemikiran alternatif GMNI yang mampu diterima dan diterjemahkan
oleh opini publik, tanpa harus disimbolisasi oleh slogan-slogan khas
GMNI, untuk memudahkan kampanye dan propaganda.
GMNI juga
bertanggung jawab mengkonsolidasi seluruh kekuatan kader-kader marhaenis
yang duduk sebagai politisi, birokrat, akademisi, pers, teknokrat,
militer/kepolisian dan aspek-aspek sosial lainnya, untuk percepatan
revolusi menuju masyarakat marhaenistik. Friksi dan konflik yang tidak
substantif yang selama ini masih menjadi penyakit kaum marhaen dan
marhaenis, harus segera dihilangkan dengan cara membuka ruang-ruang
komunikasi dengan seluruh kader marhaenis yang bersifat cair dan tidak
formalistik.
Dalam upaya non-kooperatif pula, GMNI juga harus
mampu mengontrol jalannya kebijakan kekuasaan secara langsung dengan
cara massa aksi, melalui aksi protes dan penolakan kebijakan yang tidak
sesuai dengan visi marhaenisme secara tegas maupun radikal dengan
melibatkan partisipasi rakyat secara langsung (massa aksi). Untuk itu
GMNI harus terus menyusun kekuatan massa (machtvorming). Dan penguatan
massa dilakukan dengan cara advokasi dan pengorganisiran rakyat yang
bersifat holistik-integratif, dan menyatu (leave in) dalam kehidupan
rakyat. Advokasi tidak lagi diartikan dan dilakukan secara kelembagaan
dan formal/ceremony, melainkan personal oleh seluruh kader-kader GMNI.
Sehingga sifat-sifat gerakan yang masih bergerombol akan dirombak dengan
cara menuntut kemandirian dan tanggung jawab kader dalam gerakan yang
bersifat menyebar, dimana setiap kader dibebani tugas memegang
simpul-simpul kekuatan di masyarakat tanpa harus memakai dan menggunakan
nama institusi, namun tetap terkontrol oleh GMNI.
Dengan asas
perjuangan di atas maka dapat ditegaskan bahwa sikap GMNI terhadap
kekuasaan (pemerintah), secara institusional, akan tetap berposisi
sebagai "oposisi permanen" yang akan selalu mengontrol jalannya
kekuasaan. Alasan pengambilan posisi tersebut adalah demi obyektifitas
gerakan di tubuh GMNI. Oleh karena itu, GMNI memilih untuk tetap
bersikap independen dan tidak akan pernah mau terikat dan diikat oleh
kekuatan manapun, kecuali rakyat Indonesia.
Sehingga dengan
demikian, GMNI akan mampu melawan segala bentuk-bentuk penindasan dan
penghisapan yang ada, tanpa harus memandang siapa pelakunya, tidak
peduli pemerintah, militer/kepolisian ataupun kekuatan lain, semuanya
akan menjadi musuh GMNI jika melakukan penindasan dan penghisapan
terhadap rakyat Indonesia.
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang
tertuang dalam MANIFESTO GMNI yang selanjutnya akan menjadi acuan
paradigma dan pedoman pokok dalam gerakan yang dilakukan GMNI.
Merdeka ! GMNI Jaya ! Marhaen Menang !
BalasHapus