Agenda
Besar Kapitalisme Dalam Dunia Pendidikan
Konsekuensi dari komitmen Indonesia masuk menjadi
anggota WTOsejak tahun 1994, telah diikuti dengan kesertaan
dalam menandatangani GATS (General Agreement on Trade in Services).Kemudian
Indonesia pada bulan desember 2005 menandatangani GAT’s (General Agreement
on Trade in Services) yang mengatur liberalisasi perdagangan pada 12
sektor, dimana perjanjian tersebut menetapkan pendidikan sebagai salah satu
bentuk pelayanan sektor publik yang harus diprivatisasi. Arah liberalisasi
pendidikan sejalan dengan logika ekonomi kapitalisme dengan menjadikan pendidikan
sebagai barang komersial (Komoditi). Klasifikasi sektor jasa menurut GATS tersebut ada 12
yaitu :
”Business services, Communication services, Construction and related
engineering services, Distribution services,Education services, Environmental
services, Financial services, Health related and social services, Tourism
and travel related services, Recreational, cultural and sporting services, Transportational
services, and Other services not included elsewhere.”
Perjanjian
tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related
intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang
terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek
pengaturan WTO adalah semua komoditas jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Liberalisasi
(Kapitalisasi) pendidikan sejatinya merupakan kepentingan kelas pemodal dengan
orientasi surplus value. Praktek liberalisasi akan menghilangkan tanggung jawab
Negara dengan menyerahkan pendidikan kepasar,karena dunia pendidikan merupakan
ladang bisnis yang sangat menjanjikan.
Liberalisasi pendidikan sejatinya bertentangan dengan
kepribadian bangsa Indonesia. Kepribadian rakyat Indonesia adalah anti terhadap
Kolonialisme dan Imperialisme dalam mewujudkan kesejahteraan. Rakyat Indonesia telah
dijaminan perlindungan mendapatkankesejahteraan dalam Pembukaan (Preambule) UUD
1945. Bunyi hak konstitusional yang diberikan tersebut adalah sebagai berikut:
”…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...”
UUD 1945 pada esensinya menyatakan bahwa pendidikan
nasional bukan bidang usaha jasa untuk menghasilkan tenaga kerja terdidik, yang
satu kategori dengan industri pertambangan, perdagangan, jasa perbankan dan
keuangan serta jasa-jasa lainnya. Artinya, Pendidikan bukan bidang usaha
melainkan upaya sosial, politik dan kultural untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, lebih jauh lagi bahwa pendidikan merupakan jalan untuk memiliki
kesadaran diri guna pembebasan nasional menuju kemerdekaan sejati. Oleh
karena itu, pendidikan adalah layanan yang merupakan kewajiban Pemerintah
dan bukan bidang usaha yang perlu diliberalisasi.
Bahwa hak konstitusional sebagai rakyat Indonesia
untuk mendapatkan pendidikan, mendapatkan pembiayaan dari pemerintah, usaha
pemerintah menyediakan seluruh kebutuhan pendidikan dan peningkatan
kesejahteraan melalui pemajuan keilmuan dan teknologi diberikan oleh Pasal 31
UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
”(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya;
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang;
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional;
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Namun sejumlah pasal dalam UU No. 20 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Tahun 2003 justru memberikan beban kepada
masyarakat untuk mengurus pendidikan. Hal ini jelas tidak benar dan
bertentangan dengan UUD 1945 oleh karena negara justru mewajibkan rakyatuntuk
membiayai dan mendanai penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan-ketentuan ini
secara terang disebutkan dan ada pula yang “diselundupkan” sehingga tidak
terlalu terlihat beban masyarakat yang diatur dalam pasal-pasal UU Sisdiknas.
Padahal pembebanan penyelenggaraan pendidikan berupa tanggung jawab
penyelenggaraan, pembiayaan dan pendanaan kepada masyarakat jelas bertentangan
dengan UUD 1945 namun tetap dimasukan dalam UU Sisdiknas. Oleh karena itu,
untuk mengingatkan kembali peran negara mensejahterakan rakyatnya melalui
pendidikan maka pengambilan keputusan untuk tunduk patuh pada UUD 1945.
Bahwa bunyi Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 adalah
penegasan tentang kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan. Kata “hak” dalam
hal ini bukanlah istilah yang dimaksud dalam hukum keperdataan, tetapi
merupakan penegasan tentang kebutuhan dasar (basic need). Oleh karena
itu untuk memenuhi kebutuhan dasar ini, negara melalui Pemerintah harus
memenuhi segala hal yang dibutuhkan oleh warga negaranya.
Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 merupakan penjelasan
mengenai hak warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar dan penegasan bagi
Pemerintah untuk membiayainya. Ayat ini bukan berarti menghilangkan beban
pembiayaan Pemerintah pada pendidikan ditingkat lainnya, sebab ayat ini hanya
menjelaskan wajib belajar dibiayai oleh pemerintah. Jika kembali pada bunyi
pasal sebelum perubahan UUD 1945, justru ayat (2) bentuk penegasan bagi
pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan di
Indonesia. Penegasan ini sebagai bentuk menjelaskan bunyi Pasal 31 ayat (1) UUD
1945 agar
setiap warga negara mendapatkan pendidikan dari
tingkat dasar hingga tinggi.
Pada Pasal 31 ayat (3) menjadi pasal penegas
bahwa Pemerintah juga harus membiayai dan memberikan perhatian pada pendidikan
tingkat menengah dan tinggi. Ayat (3) ini adalah ayat yang diambil dari ayat
(2) sebelum UUD 1945 di amandemen. Artinya, kebutuhan dasar warga negara akan
pendidikan tetap harus dipenuhi oleh pemerintah dengan merumuskannya dalam
sebuah Undang-Undang. Adanya kata"mengusahakan" yang
artinya mencarikan daya upaya dengan segala kekuatan tenaga, pikiran untuk
mencapai sebuah tujuan dan kata"menyelenggarakan" berarti "mengurus" dan "mengusahakan
sesuatu". Jadi pada ayat (3), daya upaya dan usaha terus menerus
bukan berarti pendidikan semata-mata hanya pendidikan dasar, tetapi daya upaya
dan usaha juga harus pada jenjang pendidikan Iainnya sebagaimana terwakili
dalam kata-kata "..sistem pendidikan nasional.., " artinya
ada proses atau jenjang dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Selanjutnya Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menegaskan
bentuk tanggung jawab negara melalui Pemerintah untuk memenuhi perintah dalam
Pasal 31 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Keinginan dalam Pembukaan
UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa salah satunya terurai dalam Pasal
31 ayat (4) UUD 1945 dimana keinginan negara untuk menjadi sumber dana bagi
penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kata ”memprioritaskan
anggaran” berarti dalam pembahasan APBN yang harus dibahas terlebih
dahulu adalah kebutuhan anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan yang
dinyatakan paling sedikit atau dalam UUD disebutkan
"sekurang-kurangnya" dua puluh persen dari APBN dan APBD.
Bahwa untuk menyimpulkan seluruh ayat dalam Pasal 31
UUD 1945, pada ayat (5) adalah penegasan kepada Pemerintah untuk memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kepentingan ini berkaitan dengan pemajuan peradaban
manusia dan kesejahteraan umat manusia. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi melalui suatu sistem pendidikan, maka telah diyakini bahwasannya
peradaban manusia akan jauh lebih maju dan kesejahteraan setiap warga negara
pun akan terjamin. Kata ”memajukan” berarti Pemerintah
melakukan tindakan aktif untuk meningkatkan pendidikan lebih dari
sebelumnya.
Mala Petaka UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Tahun 2003
Dengan demikian, sangatlah tidak benar dan
bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 pengaturan dalam Pasal
6 ayat (2) UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang
berbunyi: “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”. Ketentuan ini menjelaskan
keharusan masyarakat bertanggung jawab atas mati hidupnya penyelenggaraan
pendidikan. Pasal inilah yang berorientasi pelepasan tanggung jawab Negara
terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional.
Kemudian pada Pasal 9 UU Sisdiknas yang justru
mewajibkan masyarakat untuk mendukung sumber daya pendidikan. Frasa Pasal 9
menyatakan “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya
dalam penyelenggaraan pendidikan” sangat bertentangan dengan Paragraf
Keempat Pembukaan UUD 1945. Makna “sumber daya” berarti segala macam kemampuan
masyarakat untuk penyelenggaraan pendidikan. Pasal ini jelas salah satu tanda
dan upaya melepaskan tanggung jawab Pemerintah dalam menyelenggarakan
pendidikan.
Bahwa Pasal 12 ayat (1) huruf c dan huruf d UU
Sisdiknas menjelaskan landasan penyelenggaraan pendidikan harus dibiayai oleh
masyarakat. Pada frasa “...orangtuanya tidak mampu...” dan “mendapatkan
biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu” bertentangan
dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, dimana sebagai negara yang
berkeinginan menjamin kebutuhan dasar maka kebutuhan biaya pendidikan telah
dijamin oleh Pemerintah. Dengan adanya jaminan tersebut maka tidak perlu lagi
penyebutan orang mampu dan tidak mampu, oleh karena seluruh biaya pendidikan
telah ditanggung Pemerintah.
Pasal 24 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan “Perguruan
tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya
dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.” Jelas pasal
tersebut bertentangan dengan paragraf keempat pembukaan dan Pasal 31 UUD 1945
karena pendidikan merupakan tanggung jawab negara dengan tujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Sehingga Pasal tersebut telah menghilangkan peran dan tanggung
jawab negara atas pendidikan.
Bahwa ketentuan Pasal 46 ayat (1) UU Sisdiknas
mengharuskan masyarakat bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan. Frasa “dan
masyarakat" dalam ketentuan yang berbunyi “Pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat.” jelas bertentangan dengan paragraf keempat pembukaan
dan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 karena telah menempatkan masyarakat menanggung
beban yang seharusnya menjadi beban pemerintah. Sumber dana pendidikan sudah
seharusnya berasal dari negara dan Pemerintahlah yang harus menyediakannya
karena masyarakat telah melimpahkan tanggung jawab tersebut kepada negara
melalui pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, gubernur dan wakil gubernur,
bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota serta wakil rakyat dari
tingkat pusat hingga daerah, serta adanya pembayaran pajak. Pemerintah dalam
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 wajib memprioritaskan atau mengutamakan pembahasan
anggaran pendidikan sekurangkurangnya, berarti anggaran bisa lebih dari dua
puluh persen untuk menjadi sumber dana pendidikan untuk penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional. Pasal ini jelas tidak memposisikan warga negara
bertanggungjawab untuk mendanai pendidikan dari biaya sendiri.
Selanjutnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 47 ayat
(2) UU Sisdiknas yang mengharuskan masyarakat untuk mengerahkan sumber daya
yang ada bagi berlangsungnya pendidikan. Frasa Pasal 47 ayat (2) berbunyi “Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” jelas bertentangan
dengan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945 dan harus dinyatakan bertentangan,
pada frasa “...dan masyarakat....” dan “...sesuai
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku”.
Bahwa frasa “...dan masyarakat....” dan “...sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” dalam Pasal 47 ayat
(2) Sisdiknas mengharuskan masyarakat untuk mengerahkan sumber daya yang ada
bagi berlangsungnya pendidikan jelas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD
1945. tugas pemerintah adalah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional. Pasal ini mengharuskan pemerintah berperan aktif bukan
pasif apalagi mengalihkan tanggungjawab kepada masyarakatnya.
Pemerintah dan DPR telah membuat suatu kebijakan yang
menentukan bahwa landasan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional adalah
badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas
yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU BHP. Yang dipersoalkan yakni
persoalan pilihan kebijakan Pemerintah dan DPR dalam Undang-Undang yang
menjadikan BHP sebagai landasan sistem pendidikan nasional yang ternyata
bertentangan dengan amanat UUD 1945. Karena secara berlahan namun pasti
Pemerintah menjauhkan diri dari perannya terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Di sisi lain, penyelenggara pendidikan yang berbentuk BHP akan berlomba-lomba
untuk mengembangkan badan hukumnya dengan menggunakan pendidikan sebagai
komoditas.
Lebih lanjut pasal 53 ayat (1) sebagai landasan tata
kelola perguruan tinggi dalam kerangka liberalisasi pendidikan. Hal ini
terbukti dengan munculnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum
Pendidikan (UU BHP) sebagai kelanjutan pasal 53 ayat (1) telah dinyatakan
dicabut dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal
31 Maret 2010.
Dengan demikian banyak kelemahan-kelamahan pada UU No. 20 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Tahun 2003 sebagai payung hukum dalam memberikan
hak-hak rakyat atas pendidikan. Kemudian UU Sisdiknas telah merugikan rakyat
dan menghilangkan peran dan tanggung jawab Negara dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memjamin hak rakyat atas pendidikan.
Mala Petaka Rancangan Undang-Undang
Perguruan tinggi (RUU PT)
Namun di sisi lain, Rezim borjuasi SBY-Boediono
hendak meliberalisasikan secara total dengan adanya RUU Perguruan Tinggi. RUU
PT tidak lain adalah pengganti dari UU BHP sebagai skema kapitalisasi
pendidikan. Totalisasi ini jelas akan mengancam kepentingan rakyat terhadap
pendidikan. Pendidikan akan menjadi barang yang mahal bagi rakyat.
Pada Pasal
4 ayat (2)
dalam rancangan undang-undang
Perguruan tinggi (RUU
PT) menyatakan “Menteri berwenang memberikan kemandirian pada Perguruan
Tinggi untuk melaksanakan tata kelola pendidikan tinggi.” Pasal ini jelas
bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 pasal 31 yang menghendaki
negara bertanggung jawab dalam memberikan layanan pendidikan. Dengan memberikan
kemandirian kepada Perguruan Tinggi untuk melaksanakan tata kelola pendidikan
tinggi, pemerintah sebagai pelaksana pendidikan nasional telah melepaskan
tanggung jawabnya.
Dalam hal pembiayaan yang termuat pada Pasal 54 ayat (1) RUU PT menggantungkan kepada
mahasiswa, orang tua, serta donator. Hal itu jelas bertentangan dengan pasal 31
ayat (3) yang menegaskan bahwa negaralah yang harus membiayainya. Ketika rakyat harus dibebani
biaya pendidikan, yang nyatanya dari hari ke hari biaya pendidikan semakin
mahal maka akses rakyat dalam mendapatkan pendidikan akan tertutup.
Pasal 56 ayat (1) RUU PT menyatakan “PTP dapat
menyelenggarakan badan usaha atau portofolio sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.” Pada pasal ini, jelas terlihat bergesernya orientasi
pendidikan sebagai badan usaha. Ketika lembaga pendidikan tujuannya
mencerdaskan kehidupan bangsa telah berganti menjadi lembaga dagang (badan
usaha) yang nafasnya “profit oriented.”
Pasal 58 ayat (1) menyatakan “PTP wajib
menjaring dan menerima calon mahasiswa Warga Negara Indonesia yang memiliki
potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa baru.” Pasal diatas
terliahat diskriminasi karena telah membeda-bedakan antara yang mampu dan tidak
mampu dan mendistorsi hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan. Kemudian
dipertegas pada ayat (3) yang berbunyi “Mahasiswa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat membayar sesuai dengan kemampuannya dan mendapat
bantuan biaya pendidikan.” Penarikan biaya pendidikan terhadap
mahasiswa dan ironisnya mahasiswa kurang mampu pun tetap dipaksa membayar.
Jelas hal ini bertentangan dengan pasal 31 UUD 1945, karena pendidikan adalah
hak rakyat tanpa membedakan status sosial dan Negara wajib membiayai.
Pendidikan Mahal Menutup Akses Rakyat Terhadap
Pendidikan yang Berkualitas
Setiap tahun ajaran baru orang tua murid atau
mahasiswa dipusingkan dengan mahalnya biaya pendidikan. Sehingga banyak
orang tua yang tidak sanggun menyekolahkan ataupun menkuliahkan anaknya. Dari
hasil penelitian, pungutan masuk RSBI sekolah dasar rata-rata SPP Rp 200.000
per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di
RSBI SMP, besarnya SPP sekitar Rp 450.000 dan DSP Rp 6 juta. Di SMA/SMK,
besarnya SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk
biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri.
Kemudian untuk masuk kepergurun tinggi akan lebih
besar lagi biaya yang dikeluarkan. Misalnya saja kuliah di President University
yang merupakan kampus bergaya internasional biaya yang dikeluarkan sebesar Rp
25.000.000/ semester, Swiss German University (SGU) yang juga kampus
bergaya internasional biaya Rp 24.000.000–28.000.000/ semester.
Universitas Pelita Harapan (UPH) Rata-rata biaya kuliah Rp
9.000.000–15.000.000/ semester, Universitas Trisakti Rata-rata biaya
kuliah Rp 9.000.000–12.000.000/ semester, Universitas Tarumanagara (UNTAR)
Rata-rata biaya kuliah Rp 7.000.000–10.000.000/ semester, Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya (UAJ) rata-rata biaya kuliah Rp
3.000.000–10.000.000/ semester, dan Institut Teknologi Bandung (ITB),
seorang mahasiswa harus merogoh kocek hingga Rp100 juta agar bisa lulus, atau
sekitar Rp25 juta per tahun.
Selaian mahalnya biaya pendidikan, out put dari
pendidikan nasional tidak mampu mengembangkan kualitas tenaga produktifnya.
Kenyataannya Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi pendidikan
tinggi dan mutu akademik dibanding dengan negara Malaysia, Filiphina dan
Singapura. Karena memang Out put yang dihasilkan dari pendidikan nasional hanya
untuk memenuhi permintaan tenagakerja yang murah bagi industri-industri. Jika kita
lihat angkatan kerja pada Februari 2011 (BPS), pekerja pada jenjang pendidikan
SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sebesar 55,1 juta orang (49,53
persen), sedangkan pekerja dengan pendidikan Diploma sebesar 3,3 juta orang
(2,98 persen) dan pekerja dengan pendidikan Sarjana hanya sebesar 5,5 juta
orang (4,98 persen).
Disisi lain, mahalnya biaya pendidikan telah
membuat para siswa maupun mahasiswa memilih putus sekolah. Karena memang tidak
ada jaminan dari Negara bahwa siswa maupun mahasiswa harus tuntas menyelesaikan
jenjang pendidikan.
Inflasi Berdampak Pada Akses Rakyat Terhadap
Pendidikan
Dengan dipraktekan UU Sisdiknas, dari hari ke hari
biaya pendidikan terus menambung tinggi. Hal ini begitu ironis, dimana rakyat
Indonesia pada Maret 2010 menurut press release BPS-RI tanggal 27 Januari 2011
terdapat 60,4 juta jiwa berada pada garis kemiskinan (penduduk miskin plus
hampir miskin). Kasus kemiskinan pun berdampak pada akses rakyat terhadap
pendidikan, yakni rakyat miskin memilikikesulitan mengakses pendidikan dikarenakan
biaya yang terus naik.
Ironisnya rakyat miskin dihadapkan pada inflansi yang
akan mempengaruhi tingkat partisipasi terhadap pendidikan. Inflasi terjadi
karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks pada:
1.
Bahan makanan yang
terdiri dari padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya, daging dan hasil-hasilnya,
ikan segar, ikan diawetkan, telur, susu dan hasil-hasilnya, sayursayuran,
kacang-kacangan, buah-buahan, bumbu-bumbuan, lemak dan minyak serta bahan
makanan lainnya.
2.
Makanan jadi, minuman, rokok dan
tembakau yang terdiri dari makanan jadi, minuman yang tidak
beralkohol dan tembakau dan minuman beralkohol.
3.
Perumahan, air,
listrik, gas dan bahan bakar yang terdiri dari biaya tempat tinggal,
bahan bakar, penerangan dan air, perlengkapan rumah tangga dan penyelenggaraan
rumah tangga.
4.
Sandang yang
terdiri dari sandang laki-laki, sandang wanita, sandang anak-anak, barang
pribadi dan sandang lain.
5.
Kesehatan yang
terdiri dari jasa kesehatan, obat-obatan, jasa perawatan jasmani, perawatan
jasmani dan kosmetika.
6.
Transportasi, komunikasi dan jasa
keuangan yang terdiri dari transportasi, komunikasi pengiriman,
sarana dan penunjang transportasi dan jasa keuangan.
Oleh karena itu, rakyat dalam usaha bertahan hidup
mengalami kesulitan dengan kenaikan harga-harga. Sehingga rakyat terbatasi
dalam mengakses jasa pendidikan, kursus-kursus atau pelatihan.
Rakyat Tak Bertanah Berdampak Terhadap Akses
Pendidikan
Eskalasi kekerasan terhadap petani di Indonesia
berbanding lurus dengan ekspansi lahan baik itu kelas pemodal maupun
pemerintah. Konflik tanah bukanlah hal baru di negeri ini. Sejak orde baru,
telah terjadi ribuan kasus konflik tanah antara rakyat dan pemerintah, dengan
diiringi juga oleh ribuan kasus kekerasan oleh aparat yang mengiringinya.
Perihal kekerasan ini adalah buah dari kebijakan orde baru yang sejak berkuasa
tidak menjalankan UU Pokok Agraria 1960 yang berpihak kepada kaum tani. Praktik
pengadaan tanah di Indonesia masih banyak menyisakan persoalan hingga
kini.
Dari data yang didapat menunjukan sepanjang
tahun 2010 terjadi 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia.
Luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektar dengan melibatkan 517,159
KK yang berkonflik. Konflik agraria di awal 2011 telah menyebabkan 11 petani
meninggal, 44 orang mengalami luka, baik ringan maupun berat, tujuh orang
ditahan, dan ratusan rumah serta tanaman masyarakat dirusak. Posisi sebagian besar rakyat yang tidak dilindungi hak
atas tanahnya, mekanisme pembebasan tanah yang bersifat otoriter/ memaksa,
serta manipulasi makna ”kepentingan umum”, merupakan
catatan buruk pemerintah dalam
pengaturan dan pengadaan tanah, karena selalurakyat yang dikorbankan. Ironisnya
pelaku kekarasan terhadap petani mayoritas dilakukan oleh aparat negara (baik
tentara maupun polisi)yang di dikte oleh kelas pemodal. Dengan demikian
rakyat yang kehilangan tanah secara paksa oleh kelas borjuasi akan menutup
akses terhadap pendidikan, karena tanah sebagai sumber kehidupan telah
dirampas.
Politik Upah Murah dan PHK Berdampak Terhadap Akses
Pendidikan
Persoalan kelas buruh sampai sekarang ini adalan
penerapan sistem kerja kontrak dan outshorcing atau Labour Market
Flekxebiltysehingga berpengaruh pada kesejahteraan buruh. Dengan adanya
sistem ini buruh akan dibatasi hak-haknya dan riskan terkena PHK sepihak. Pada
tahun 2011, setiap bulannya tercatat rata-rata di Indonesia 18.000 buruh
manufaktur dan jasa kehilangan pekerjaan. Sementara itu, kaum buruh yang masih
bekerja justru dipaksa menerima upah rendah, yakni sekitar 70% penduduk masih
berpenghasilan rata-rata 2 US $/ hari dan itu pun lebih rendah
dibandingkan upah huruh di negara-negara Asia Tenggara.
Selain itu persoalan yang dihadapi kaum buruh adalah
persoalan jaminan sosial, cuti kerja, upah lembur dan uang pesangon yang hampir
mayoritas tidak diberikan kepada buruh. Persoalan kaum buruh kemudian
diperparah dengan kinerja DISNAKER yang tidak berpihak kepada kepentingan
buruh. Pengadilan Hubungan Industri (PHI) sebagai tempat buruh mendapatkan
keadilan pun telah dikuasi oleh kaum borjuasi. Hal itu terlihat dari banyaknya
kasus suap oleh pengusaha terhadap hakim ataupun jaksa. Posisi rezim borjuasi
tidak berupaya mensejahterakan buruh melainkan memperparah kondisi buruh dengan
niatan merevisi UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 yang pro terhadap kelas
pemodal. Minimnya kesejahteraan buruh dengan upah yang rendah dan PHK,
jelas akan mempengaruhi akses dalam mengenyam pendidikan.
Pendidikan Sebagai Ideologi Kelas Borjuasi
Kelas borjuasi dengan mazhab kapitalismenya, jelas
memiliki kepentingan dalam dunia pendidikan nasional. Institusi pendidikan
digunakan sebagai alat yang mentranformasikan kepentingan-kepentingan kelas
borjuasi. Idiologisasi yang dilakukan kelas borjuasi yaitu menciptakan
kebudayaan diam. Menurut Poulo Freire, kebudayaan diam merupakan
kondisi di mana rakyat dibuat tunduk dan taat sedemikian rupa oleh penguasa,
sehingga rakyat tidak bisa atau berani mempertanyakan keberadaannya, dan pada
akhirnya cenderung menerima keberadaan itu secara fatalistis.
Kemudian, bahwa pendidikan sebagai ruang ideologisasi
kelas borjuasi telah mengendalikan paradigma pendidikan nasional. Pendidikan
diarahkan untuk pemperkuat sistem kapitalisme serta membenarkan praktek jahat
atas penghisapan. Disini propaganda borjuasi akan menjauhkan pelajar maupun
mahasiswa terhadap lingkungan masyarakat, menjauh dari realitas kemanusiaan dan
kondisi masyarakat yang tengah dialami.
Ilusi borjuasi yang sekarang ini menjadi magnet
dikalangan akademisi adalah kurikulum “Enterpreneurship”
(kewirausahaan). Kurikulum tersebut merupakan siasat guna melancarkan proses
akumulasinya. Hal itu juga sebagai tambal sulam dari ketidak-mampuan rezim
borjuasi dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat.
Hal yang lain juga, pendidikan hanya menciptakan
robot-robot industri yang murah guna menggerakan produksi kapitalis. Bahkan
yang terlihat sekarang, bahwa pendidikan telah menciptakan sarjana-sarjana yang
mendukung kebijakan rezim dan melemahkan rakyat.
Dengan demikian, kekuatan ideologi borjuasi harus di
intervensi dengan ideologi kelas yang mayoritas sedang mengalami ketertindasan,
yaitu idelogi kelas proletar. Idelogi proletar harus mencari ruang di dalam
institusi pendidikan. Sebagai gambaran, strategi “Rakjat Masoek
Kampoes” sekarang ini harus dibudayakan untuk menggeser ideology
borjuasi.
Kesimpulan
Rezim yang menganut sistem kapitalisme tidak akan
pernah mensejahterakan rakyat dan akan melepaskan tanggung jawabnya terhadap
pelayanan pendidikan nasional. Sehingga pendidikan menjadi sektor jasa yang di
perjual-belikan demi kepentingan surplus value. Dan rezim borjuasi
akan menciptakan regulasi atau kebijakan yang mempermudah penguasaan pendidikan
oleh kelas pemodal. Regulasi sebagai liberalisasi pendidikan tercermin pada UU No.
20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 dan Rancangan
Undang-undang Perguruan Tinggi. Sejatinya regulasi tersebut bertentangan dengan
pembukaan UUD 1945 dan pasal 31 UUD 1945. Dan dampak dari liberalisasi
pendidikan ini adalah rakyat akan kehilangan akses terhadap pendidikan. Disisi
lain rakyat dibebani oleh inflansi, perampasan tanah dan upah murah yang
semakin membuat rakyat menderita. Sehingga pendidikan menjadi barang yang
langka bagi rakyat.
Sehingga peran Negara harus di kembalikan seperti
semula seperti yang telah diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945 dan pasal 31 UUD
1945 dan setiap ada regulasi yang bertentangan harus di batalkan. Oleh
karena itu, Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerakyatan
merupakan suatu keharusan.
Selanjutnya sebagai strategi melawan ideoligisasi
borjuasi dalam institusi pendidikan, perlu adanya intervensi ideologi proletar
(Rakjat Masoek Kampoes). Harapannya metede ini dapat memberikan kesadaran yang
luas bagi pelajar maupun mahsiswa dalam melihat realitas sejatinya yang
dihadapi rakyat. Bahkan metode ini dapat membangkitakan perjuangan dan
radikaliasi pelajar-mahasiswa dalam perjuangan kampus (pendidikan) dan
perjuangan rakyat (multi-sektor).